2024/7/5 in Okayama
2024/7/5 in Okayama
Saya menemukan kertas beberapa hari yang lalu ketika saya sedang mencari sesuatu.
Makalah ini dan penulisnya benar-benar baru bagi saya.
Saya lega mengetahui bahwa makalah ini sangat bagus dan penulisnya adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Tokyo dan anggota aktif Itochu Corporation.
Setelah saya memasuki dunia kerja, saya bertemu dengan dua sahabat saya selama sisa hidup saya.
Keduanya adalah karyawan ITOCHU Corporation.
Mereka berdua adalah pengusaha yang sangat berbakat dan memegang posisi penting di perusahaan.
Nama perusahaan tersebut muncul dalam wacana baru-baru ini, bersamaan dengan pernyataan Uichiro Niwa yang pro-Tiongkok.
Saya merasa sangat malu.
Melalui pergaulan saya dengan mereka, saya merasa bahwa kekuatan sebuah perusahaan dagang terletak pada kenyataan bahwa setiap karyawannya, bisa dikatakan, adalah manajer sebuah perusahaan kecil atau menengah.
Mereka hebat dalam menganalisis neraca klien mereka dan memahami keadaan perusahaan.
Atau kemampuan untuk melihat perkiraan konstruksi yang signifikan, langsung memeriksa setiap detail, dan menilai kesesuaian harga, sesuatu yang bahkan akan membuat kontraktor umum terkemuka di Jepang bergidik ketakutan.
Kekuatan Jepang terletak pada kombinasi kecerdasan, kekuatan fisik, dan energi.
Pesan korporat ITOCHU Corporation, "Satu Pedagang, Segudang Misi," terpampang di jaring belakang Stadion Jingu, kandang tim bisbol Yakult, dan setiap kali saya melihatnya, saya pikir itu benar sekali.
Bagaimana biografi penulis Takehiko Aoyagi di awal artikel ini?
(Profesor Universitas Internasional Jepang, Doktor Filsafat.
Ia lahir di Kota Kiryu, Prefektur Gunma, pada tahun 1934. Ia lulus dari Sekolah Menengah Atas Kiryu.
Lulus dari Universitas Tokyo, Fakultas Ekonomi pada tahun 1958 dan bergabung dengan ITOCHU Corporation.
Beliau pernah menjabat sebagai General Manager di Sydney Foods Department, General Manager di Agricultural Foods Department di kantor pusat, dan Director ITOCHU System Development Corporation, dan beberapa posisi lainnya.
Dari tahun 1985 hingga 1997, ia menjabat sebagai presiden dan Ketua Nippon Telematic Corporation, sebuah perusahaan patungan 50-50 antara ITOCHU Corporation dan NTT Corporation.
Dari tahun 1995 hingga 2006, beliau menjabat sebagai Wakil Presiden dan Profesor di GLOBECOM, Universitas Internasional Jepang, dan dari tahun 2006 hingga 2016, beliau menjadi Profesor Tamu di GLOBECOM.
Bidang penelitiannya meliputi ekonomi, administrasi bisnis, keuangan, sosiologi informasi, hukum, politik internasional, dan teori keamanan, dan ia memproklamirkan diri sebagai seorang generalis dalam ilmu-ilmu sosial.
Dia adalah penulis "Strategi Videotex" (Ilmu Informasi), "Masyarakat Pengawasan Siber" (Asosiasi Kemajuan Telekomunikasi), "Informasi Pribadi" Atas "Perlindungan Akan Menghancurkan Jepang" (Softbank Shinsho), "Penelitian Privasi di Era Informasi" ( NTT Publishing), “Roosevelt Mengkhianati Rakyat Amerika dan Menyeret Jepang ke dalam Perang”, “Sejarah Jepang yang Dipelintir oleh Amerika untuk Melucuti Mental Orang Jepang” (Heart Publishing), dan masih banyak lainnya.
Pak Aoyagi menemukan sebuah makalah yang memenangkan Penghargaan Esai "Sejarah Modern Sejati" Tahunan ke-7 untuk Keunggulan dari APA Group.
Ini adalah makalah yang wajib dibaca tidak hanya oleh orang Jepang tetapi juga oleh orang-orang di seluruh dunia.
Bagian yang tak terhitung jumlahnya dengan sempurna menggambarkan struktur otak Arima dan karyawan NHK yang mengendalikan NHK/Watch9, yang menurut saya tidak dapat dimaafkan malam itu.
Mengapa orang Jepang begitu mudah menjadi korban WGIP?
Pertama, WGIP dirahasiakan dengan baik dan dilaksanakan secara diam-diam sehingga pihak Jepang bahkan tidak mengetahui adanya program cuci otak.
Sejak AS memperkenalkan gagasan demokrasi dalam skala besar, negara ini mengambil posisi sentral dalam ideologi dan filosofi pendidikan Jepang pascaperang.
Masyarakat Jepang tidak pernah menyangka bahwa GHQ, badan utama sistem ini, menolak “kebebasan berpendapat” dan mendukung cuci otak.
Kedua, sebagian besar dari apa yang disebarkan GHQ diklasifikasikan sebagai rahasia masa perang.
Karena seluruh sejarah militer telah dihancurkan, rakyat Jepang tidak memiliki cara untuk memverifikasi kebenaran apa yang dikatakan.
Oleh karena itu, masyarakat Jepang yakin bahwa kaum militeris berbohong dan menipu masyarakat.
Ketiga, hampir semua akademisi yang dipercaya Jepang tidak kritis dan siap menerima pandangan sejarah Pengadilan Tokyo dan secara aktif mempromosikannya dengan menerbitkan artikel dan buku yang menambah kebingungan.
Secara khusus, semua sejarawan terkemuka mendukung Tokyo Trial Historicism dan menerbitkan serangkaian hasil penelitian yang memberikan pandangan negatif terhadap seluruh sejarah Jepang.
Banyak siswa yang diajar oleh para cendekiawan ini menjadi guru dan mengajari anak-anak mereka pandangan masokis tentang sejarah.
Dengan demikian, pandangan sejarah Ujian Tokyo satu demi satu terpatri pada generasi muda melalui pendidikan sejarah.
Dalam salah satu bukunya, Keiji Nagahara, profesor emeritus di Universitas Hitotsubashi dan Ketua Masyarakat Sejarah, bahkan menyatakan, “Ujian Tokyo mengajarkanht historiografi Jepang pandangan yang benar tentang sejarah.
Kenyataannya adalah, dengan beberapa pengecualian, akademi sejarah masih tetap mendukung pandangan Pengadilan Tokyo tentang sejarah.
Satu-satunya orang yang mengaku memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah adalah para sarjana yang tidak memiliki hubungan dengan komunitas sejarah.
Diantaranya adalah kritikus dan sarjana Inggris Shoichi Watabe, sejarawan ekonomi Barat Fumio Huang, sarjana sastra Jerman Kanji Nishio, filsuf Michiko Hasegawa, sarjana sastra Inggris Yutaka Nakamura, jurnalis Yoshiko Sakurai, mantan perwira Angkatan Udara Bela Diri Tadato Ushio, sastra dan komparatif Jerman sarjana sastra Keiichiro Kobori, sarjana sejarah diplomatik Eropa dan politik internasional Terumasa Nakanishi, matematikawan dan penulis esai Masahiko Fujiwara, dan sarjana sejarah Jepang dan penulis esai sejarawan Masahiko Fujiwara, adalah beberapa di antaranya.
Mereka semua terlibat dalam aktivitas intelektual luas yang melampaui gelar mereka.
Hal serupa juga terjadi di komunitas hukum.
Inti dari Pengadilan Tokyo adalah hukuman mati tanpa pengadilan yang dilakukan secara ilegal oleh negara-negara yang menang, dan bahkan Sekutu pun tidak yakin akan keabsahannya.
Namun, Kisaburo Yokota, seorang profesor hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Kekaisaran Tokyo, yang dianggap sebagai salah satu otoritas hukum internasional terkemuka di dunia, secara mengejutkan berpendapat bahwa Pengadilan Tokyo adalah sah.
Dalam bukunya "Kejahatan Perang", dia dengan tidak kritis menerima pandangan sejarah Pengadilan Tokyo. Ia menyatakan, "Tidak ada keraguan bahwa terdapat keinginan yang kuat di antara hampir semua negara untuk menganggap perang agresi sebagai kejahatan internasional."
Banyak pakar hukum lain yang mengikuti jejaknya seperti longsoran salju, sehingga kekuatan WGIP sangat besar.
Bab 2: Bagaimana pandangan masokis terhadap sejarah ditunjukkan?
Keiji Nagahara, Historiografi Jepang Abad ke-20, 2003, Yoshida Kobunkan
Teori Kejahatan Perang," oleh Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, hal. 98.
Pemerintah harus menegaskan bahwa baik isu perempuan penghibur maupun Pembantaian Nanking “tidak pernah terjadi.
Banyak argumen yang menuduh Jepang melakukan pemindahan paksa wanita penghibur, namun tidak ada bukti seperti itu, jadi pasti ada pemindahan seperti itu.
Gagasan bahwa 'tidak ada bukti bahwa hal itu tidak ada, jadi pasti ada' disebut 'argumen dari ketidaktahuan' dalam logika dan sepenuhnya salah.
Secara logika, tidak diragukan lagi sulit untuk membuktikan bahwa sesuatu itu tidak ada, yang dikenal sebagai "Probatio Diabolica" (Pembuktian Setan).
Untuk membuktikan bahwa alam semesta tidak ada, seseorang harus memeriksa secara menyeluruh segala sesuatu di alam semesta, dan hal ini mustahil.
Namun, dengan menggunakan reductio absurdum, jika Anda dapat membuktikan premis bahwa A dan B tidak dapat ada secara bersamaan, maka Anda dapat membuktikan bahwa "B tidak ada" dengan menunjukkan bahwa "A ada".
Ada yang bilang ini bukan bukti karena tidak langsung tapi kedap suara berdasarkan logika ortodoks.
Pemerintah Jepang tidak boleh dengan tidak percaya diri mengatakan hal-hal seperti, "Kami tidak dapat memastikan fakta bahwa wanita penghibur diambil secara paksa." Namun, harus dinyatakan dengan jelas dan tegas bahwa "tuduhan tersebut tidak berdasar."
Artikel ini berlanjut.
Karena keterbatasan waktu, saya akan melewatkan bab sebelumnya hari ini tetapi akan mempostingnya nanti.
Masalah wanita penghibur
Masalah wanita penghibur adalah sebuah rekayasa belaka.
Bahkan buku pelajaran Korea sebelum tahun 1996 tidak menyebutkannya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semua ini berawal dari kesalahan pelaporan dan pemalsuan yang dilakukan oleh Asahi Shimbun.
Asahi Shimbun akhirnya mengakui kesalahannya pada edisi 5 Agustus 2014 dan mencabut artikel tersebut.
Surat kabar tersebut juga mengakui bahwa kesaksian Yoshida Seiji bahwa "wanita penghibur dibawa pergi secara paksa", yang telah diliput sebanyak 16 kali, adalah salah.
Namun, pihaknya tidak pernah meminta maaf dan terus mencari-cari alasan.
Tidak bisa dimaafkan jika mereka terus menampilkan pandangan masokis terhadap sejarah selama 35 tahun terakhir tanpa melakukan koreksi apa pun.
Profesor Universitas Chuo Yoshimi Yoshiaki mengaku telah menemukan dokumen yang menunjukkan keterlibatan militer, dan Asahi Shimbun secara luas melaporkan hal ini sebagai "penemuan besar".
Namun pada kenyataannya, militer terlibat dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya:
Untuk melindungi perempuan setempat.
Untuk menyelesaikan masalah seksual tentara.
Untuk mencegah penyebaran penyakit menular seksual.
Ini jelas bukan dokumen yang mengindikasikan penculikan paksa.
Pada saat Pernyataan Kono diumumkan, tidak ditemukan bukti penculikan paksa oleh militer dalam penyelidikan.
Namun, Kementerian Luar Negeri Korea mengajukan permintaan yang kuat dengan mengatakan, "Ini adalah masalah yang menyangkut kehormatan mantan wanita penghibur, jadi kami ingin Anda memasukkan kata-kata yang menyiratkan pemaksaan. Jika Anda melakukannya, kami akan memastikan bahwa tidak akan ada masalah di masa depan dengan kompensasi atau apa pun."
Untuk mencapai hal ini, pemerintah Jepang menunjukkan rancangan tersebut kepada pihak Korea terlebih dahulu dan menyesuaikan kata-katanya, sehingga menciptakan pernyataan yang hanya dapat dibaca seolah-olah militer telah melakukan hal tersebut.d secara paksa menculik wanita penghibur.
Pemerintah bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini secara politis dengan "respon yang lembut dan matang", namun hal ini malah menjadi bumerang.
Kemudian, anggota DPR Mike Honda, yang mengusulkan resolusi tersebut dan menuntut permintaan maaf di Dewan Perwakilan Rakyat AS, ditanya di televisi Jepang tentang dasar penculikan paksa, namun dia menjawab, "Pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk Pernyataan Kono . Mengapa Perdana Menteri Jepang meminta maaf dengan tulus?"
Jika hal ini terus berlanjut, Pernyataan Kono akan terus menjadi penghinaan bagi Jepang selamanya.
Pernyataan itu telah dikutip dan menjadi kenyataan.
Artikel ini berlanjut.
2024/7/5 in Okayama
J'ai trouvé un journal l'autre jour alors que je cherchais quelque chose.
Cet article et son auteur étaient totalement nouveaux pour moi.
J'ai été soulagé d'apprendre que l'article était excellent et que l'auteur était diplômé de la Faculté d'économie de l'Université de Tokyo et membre actif d'Itochu Corporation.
Après mon entrée sur le marché du travail, j'ai rencontré deux de mes meilleurs amis pour le reste de ma vie.
Tous deux étaient des employés d'ITOCHU Corporation.
Ils étaient tous deux des hommes d’affaires très talentueux et occupaient des postes importants au sein de l’entreprise.
Le nom de l'entreprise est apparu récemment dans le discours, aux côtés des déclarations pro-chinoises d'Uichiro Niwa.
J'ai ressenti un sentiment d'embarras intense.
En les côtoyant, j'ai senti que la force d'une société de négoce réside dans le fait que chaque collaborateur est pour ainsi dire le dirigeant d'une petite ou moyenne entreprise.
Ils sont fantastiques pour analyser les bilans de leurs clients et comprendre l’état de l’entreprise.
Ou la possibilité d'examiner une estimation de construction importante, de vérifier instantanément chaque détail et de juger de la pertinence du prix, ce qui ferait frémir de peur même les principaux entrepreneurs généraux du Japon.
La force du Japon réside dans la combinaison de l’intelligence, de la force physique et de l’énergie.
Le message d'entreprise d'ITOCHU Corporation, « Un marchand, une myriade de missions », est affiché sur le filet arrière du stade Jingu, le terrain de l'équipe de baseball de Yakult, et chaque fois que je le vois, je pense qu'il est tout à fait exact.
Quelle est la biographie de l'auteur, Takehiko Aoyagi, au début de cet article ?
(Professeur de l'Université internationale du Japon, docteur en philosophie.
Il est né dans la ville de Kiryu, préfecture de Gunma, en 1934. Il est diplômé du lycée de Kiryu.
Diplômé de la Faculté d'économie de l'Université de Tokyo en 1958 et rejoint ITOCHU Corporation.
Il a été directeur général du département des aliments de Sydney, directeur général du département des aliments agricoles au siège social et directeur de l'ITOCHU System Development Corporation, entre autres postes.
De 1985 à 1997, il a été président et président de Nippon Telematic Corporation, une coentreprise à parts égales entre ITOCHU Corporation et NTT Corporation.
De 1995 à 2006, il a été vice-président et professeur à GLOBECOM, Université internationale du Japon, et de 2006 à 2016, il a été professeur invité à GLOBECOM.
Ses domaines de recherche comprennent l'économie, l'administration des affaires, la finance, la sociologie de l'information, le droit, la politique internationale et la théorie de la sécurité, et il est un généraliste autoproclamé des sciences sociales.
Il est l'auteur de "Videotex Strategy" (Information Science), "Cyber Surveillance Society" (Te Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" ( NTT Publishing), « Roosevelt a trahi le peuple américain et a entraîné le Japon dans la guerre », « L'histoire du Japon déformée par l'Amérique pour désarmer mentalement les Japonais » (Heart Publishing) et bien d'autres.
M. Aoyagi est tombé sur un article qui a remporté le 7e prix d'excellence annuel de rédaction « La véritable histoire moderne » du groupe APA.
C’est un article incontournable non seulement pour le peuple japonais mais aussi pour le monde entier.
D’innombrables passages décrivent parfaitement la structure cérébrale d’Arima et des employés de la NHK qui contrôlent NHK/Watch9, ce que j’ai trouvé impardonnable l’autre soir.
Pourquoi le peuple japonais est-il devenu si facilement la proie du WGIP ?
Premièrement, le WGIP était si bien dissimulé et secrètement mis en œuvre que les Japonais ne connaissaient même pas l’existence du programme de lavage de cerveau.
Depuis que les États-Unis ont introduit l’idée de démocratie à grande échelle, ils ont occupé une place centrale dans l’idéologie et la philosophie éducative du Japon d’après-guerre.
Le peuple japonais n'avait jamais imaginé que le GHQ, l'organe principal du système, niait la « liberté d'expression » et encourageait le lavage de cerveau.
Deuxièmement, une grande partie de ce que le GHQ a propagé était classé comme secret de guerre.
Puisque toute l’histoire militaire avait été détruite, le peuple japonais n’avait aucun moyen de vérifier la véracité de ce qui était dit.
Par conséquent, le peuple japonais croyait sans aucun doute que les militaristes mentaient et trompaient le public.
Troisièmement, presque tous les universitaires en qui les Japonais ont confiance ont accepté sans réserve et sans hésitation la vision historique des procès de Tokyo et l’ont activement promue en publiant des articles et des livres qui ont amplifié la confusion.
En particulier, tous les historiens de premier plan ont soutenu l'historicisme du procès de Tokyo et ont publié une série de résultats de recherche qui jettent un éclairage négatif sur toute l'histoire du Japon.
Beaucoup d’étudiants auxquels ces érudits ont enseigné sont devenus enseignants et ont enseigné à leurs enfants la vision masochiste de l’histoire.
Ainsi, la vision historique des procès de Tokyo a été imprégnée l’une après l’autre de la jeune génération grâce à l’éducation historique.
Dans l'un de ses livres, Keiji Nagahara, professeur émérite à l'Université Hitotsubashi et président de la Société historique, déclare même : « Les procès de Tokyo ont eu lieuht historiographie japonaise la vision correcte de l’histoire.
La réalité est que, à quelques exceptions près, l’académie historique reste fermement résolue à soutenir la vision de l’histoire du Tribunal de Tokyo.
Les seules personnes qui prétendent avoir une bonne compréhension de l’histoire sont des érudits qui n’ont aucun lien avec la communauté historique.
Parmi eux figurent le critique et érudit anglais Shoichi Watabe, l'historien de l'économie occidentale Fumio Huang, le spécialiste de la littérature allemande Kanji Nishio, le philosophe Michiko Hasegawa, le spécialiste de la littérature anglaise Yutaka Nakamura, le journaliste Yoshiko Sakurai, l'ancien officier de l'armée de l'air d'autodéfense Tadato Ushio, la littérature allemande et comparée. le spécialiste de la littérature Keiichiro Kobori, le spécialiste de l'histoire diplomatique européenne et de la politique internationale Terumasa Nakanishi, le mathématicien et essayiste Masahiko Fujiwara et l'historien et essayiste japonais Masahiko Fujiwara, pour n'en nommer que quelques-uns.
Tous sont engagés dans des activités intellectuelles de grande envergure qui vont au-delà de leurs titres.
Il en va de même dans la communauté juridique.
L’essence des procès de Tokyo était un lynchage illégal perpétré par les puissances victorieuses, et même les Alliés n’étaient pas sûrs de sa validité.
Cependant, Kisaburo Yokota, professeur de droit international à la Faculté de droit de l'Université impériale de Tokyo, considéré comme l'une des principales autorités mondiales en matière de droit international, a étonnamment soutenu que les procès de Tokyo étaient légitimes.
Dans son livre « War Crimes », il a accepté sans réserve la vision historique des procès de Tokyo. Il a déclaré : « Il ne fait aucun doute qu'il existe un désir intense parmi presque toutes les nations de considérer la guerre d'agression comme un crime international. »
De nombreux autres juristes ont alors emboîté le pas comme une avalanche, de sorte que le pouvoir du WGIP était énorme.
Chapitre 2 : Comment la vision masochiste de l’histoire s’est-elle manifestée ?
Keiji Nagahara, Historiographie du Japon du XXe siècle, 2003, Yoshida Kobunkan
Théorie des crimes de guerre », par Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, p. 98.
Le gouvernement devrait affirmer que ni la question des femmes de réconfort ni le massacre de Nankin « n’ont jamais eu lieu.
De nombreux arguments accusent le Japon d'une restitution forcée de femmes de réconfort, mais il n'existe aucune preuve de ce type, il doit donc y avoir eu une telle restitution.
L'idée selon laquelle « il n'y a aucune preuve que cela n'a pas existé, donc cela a dû exister » est appelée un « argument de l'ignorance » en logique et est complètement fausse.
Logiquement parlant, il est sans aucun doute difficile de prouver que quelque chose n'a pas existé, ce que l'on appelle la « Probatio Diabolica » (Preuve du Diable).
Pour prouver qu’il n’existe pas, il faut tout examiner minutieusement dans l’univers, ce qui est impossible.
Cependant, en utilisant la reductio absurdum, si vous pouvez prouver la prémisse selon laquelle A et B ne peuvent pas exister simultanément, alors vous pouvez prouver que « B n'existe pas » en démontrant que « A existe ».
Certains disent que ce n’est pas une preuve car elle est indirecte mais insonorisée et basée sur une logique orthodoxe.
Le gouvernement japonais ne devrait pas dire avec assurance des choses comme : « Nous ne pouvons pas confirmer le fait que les femmes de réconfort ont été emmenées de force. » Néanmoins, il devrait affirmer clairement et catégoriquement que « les allégations sont sans fondement ».
Cet article continue.
En raison de contraintes de temps, je sauterai le chapitre précédent celui-ci aujourd'hui mais je le publierai plus tard.
Problème des femmes de réconfort
La question des femmes de réconfort est une pure invention.
Même les manuels coréens d’avant 1996 n’en parlent pas.
Il n’est pas exagéré de dire que tout a commencé par des informations erronées et des inventions de la part de l’Asahi Shimbun.
L'Asahi Shimbun a finalement reconnu son erreur dans son édition du 5 août 2014 et a rétracté l'article.
Le journal a également admis que le témoignage de Yoshida Seiji selon lequel « des femmes de réconfort avaient été emmenées de force », qu'il avait couvert 16 fois, était faux.
Cependant, il ne s’est jamais excusé et a continué à trouver des excuses.
Il est impardonnable qu’ils aient continué à afficher une vision masochiste de l’histoire au cours des 35 dernières années sans apporter aucune correction.
Yoshimi Yoshiaki, professeur à l'université de Chuo, a affirmé avoir découvert des documents montrant l'implication de l'armée, et l'Asahi Shimbun a largement rapporté cela comme une « découverte majeure ».
Mais en réalité, l’armée s’implique dans l’exercice de ses responsabilités sociales :
Pour protéger les femmes locales.
Résoudre les problèmes sexuels des soldats.
Pour prévenir la propagation des maladies sexuellement transmissibles.
Il ne s’agit certainement pas d’un document faisant état d’enlèvements forcés.
Au moment où la déclaration de Kono a été annoncée, l'enquête n'avait trouvé aucune preuve d'enlèvements forcés par l'armée.
Cependant, le ministère coréen des Affaires étrangères a formulé une demande ferme en déclarant : « Il s'agit d'une question qui concerne l'honneur des anciennes femmes de réconfort, nous souhaitons donc que vous incluiez des mots qui suggèrent la coercition. Si vous le faites, nous veillerons à ce que il n'y aura aucun problème futur en matière d'indemnisation ou quoi que ce soit d'autre."
Pour y parvenir, le gouvernement japonais a montré le projet à la partie coréenne à l'avance et a ajusté la formulation, créant une déclaration qui ne pouvait être lue que comme si l'armée avaitd a enlevé de force les femmes de réconfort.
Le gouvernement avait eu l'intention de régler la question politiquement d'un seul coup avec une « réponse douce et mûre », mais cela s'est complètement retourné contre lui.
Plus tard, le représentant Mike Honda, qui a proposé la résolution exigeant des excuses à la Chambre des représentants des États-Unis, a été interrogé à la télévision japonaise sur les raisons des enlèvements forcés, mais il a répondu : « La déclaration a été faite sous la forme de la déclaration de Kono. . Pourquoi le Premier ministre japonais s'est-il sincèrement excusé ?
Si les choses continuent ainsi, la déclaration de Kono continuera à jamais d’être une insulte au Japon.
La déclaration a été citée et prend sa propre vie.
Cet article continue.
2024/7/5 in Okayama
Ich habe neulich auf der Suche nach etwas einen Artikel gefunden.
Dieser Artikel und sein Autor waren mir völlig neu.
Ich war erleichtert, als ich erfuhr, dass der Artikel ausgezeichnet war und dass der Autor Absolvent der Fakultät für Wirtschaftswissenschaften der Universität Tokio und aktives Mitglied der Itochu Corporation war.
Nachdem ich ins Berufsleben eingetreten war, traf ich zwei meiner besten Freunde für den Rest meines Lebens.
Beide waren Mitarbeiter der ITOCHU Corporation.
Sie waren beide hochtalentierte Geschäftsleute und hatten wichtige Positionen im Unternehmen inne.
Der Name des Unternehmens tauchte kürzlich im Diskurs auf, zusammen mit Uichiro Niwas pro-chinesischen Aussagen.
Ich war sehr verlegen.
Durch meine Verbindung mit ihnen spürte ich, dass die Stärke eines Handelsunternehmens darin liegt, dass jeder Mitarbeiter sozusagen ein Manager eines kleinen oder mittelgroßen Unternehmens ist.
Sie sind fantastisch darin, die Bilanzen ihrer Kunden zu analysieren und den Zustand des Unternehmens zu erfassen.
Oder die Fähigkeit, sich einen bedeutenden Baukostenvoranschlag anzusehen, sofort jedes Detail zu prüfen und die Angemessenheit des Preises zu beurteilen, etwas, das selbst Japans führende Generalunternehmer vor Angst erschauern lassen würde.
Die Stärke Japans liegt in der Kombination aus Intelligenz, körperlicher Stärke und Energie.
Die Unternehmensbotschaft der ITOCHU Corporation „Ein Händler, unzählige Missionen“ wird auf dem hinteren Netz des Jingu-Stadions angezeigt, dem Heimstadion des Yakult-Baseballteams, und jedes Mal, wenn ich sie sehe, denke ich, dass sie genau richtig ist.
Wie lautet die Biografie des Autors, Takehiko Aoyagi, am Anfang dieses Artikels?
(Professor der International University of Japan, Doktor der Philosophie.
Er wurde 1934 in Kiryu City, Präfektur Gunma, geboren. Er machte seinen Abschluss an der Kiryu Senior High School.
Er machte 1958 seinen Abschluss an der Fakultät für Wirtschaftswissenschaften der Universität Tokio und trat der ITOCHU Corporation bei.
Er war unter anderem General Manager der Lebensmittelabteilung in Sydney, General Manager der Abteilung für Agrarlebensmittel in der Hauptniederlassung und Direktor der ITOCHU System Development Corporation.
Von 1985 bis 1997 war er Präsident und Vorsitzender der Nippon Telematic Corporation, einem 50:50-Joint-Venture zwischen ITOCHU Corporation und NTT Corporation.
Von 1995 bis 2006 war er Vizepräsident und Professor an der GLOBECOM, International University of Japan, und von 2006 bis 2016 war er Gastprofessor an der GLOBECOM.
Zu seinen Forschungsgebieten gehören Wirtschaftswissenschaften, Betriebswirtschaft, Finanzen, Informationssoziologie, Recht, internationale Politik und Sicherheitstheorie, und er bezeichnet sich selbst als Generalist der Sozialwissenschaften.
Er ist der Autor von „Videotex Strategy“ (Information Science), „Cyber Surveillance Society“ (Telecommunications Advancement Association), „Personal Information „Over“ Protection Will Destroy Japan“ (Softbank Shinsho), „Privacy Research in the Information Age“ (NTT Publishing), „Roosevelt Betrayed the American People and Dragged Japan into War“, „The History of Japan Twisted by America to Mentally Disarm the Japanese“ (Heart Publishing) und vielen anderen.
Herr Aoyagi stieß auf einen Aufsatz, der den 7. jährlichen Essaypreis „True Modern History“ der APA Group für herausragende Leistungen gewann.
Er ist ein unverzichtbarer Aufsatz, nicht nur für die Japaner, sondern für Menschen auf der ganzen Welt.
Unzählige Passagen beschreiben perfekt die Gehirnstruktur von Arima und den NHK-Mitarbeitern, die NHK/Watch9 kontrollieren, was ich neulich Abend unverzeihlich fand.
Warum fielen die Japaner so leicht der WGIP zum Opfer?
Erstens war die WGIP so gut verborgen und im Geheimen umgesetzt, dass die Japaner nicht einmal von der Existenz des Gehirnwäscheprogramms wussten.
Da die USA die Idee der Demokratie in großem Maßstab einführten, nahm sie eine zentrale Stellung in Japans Nachkriegsideologie und Bildungsphilosophie ein.
Die Japaner hätten nie davon geträumt, dass das GHQ, das Hauptorgan des Systems, die „Meinungsfreiheit“ verweigerte und Gehirnwäsche förderte.
Zweitens wurde vieles, was das GHQ propagierte, als Kriegsgeheimnis eingestuft.
Da die gesamte Militärgeschichte vernichtet worden war, hatte das japanische Volk keine Möglichkeit, die Wahrheit der Aussagen zu überprüfen.
Daher glaubte das japanische Volk ohne jeden Zweifel, dass die Militaristen logen und die Öffentlichkeit täuschten.
Drittens haben fast alle Akademiker, denen die Japaner vertrauen, die historische Sicht der Tokioter Prozesse kritiklos und bereitwillig übernommen und sie aktiv gefördert, indem sie Artikel und Bücher veröffentlichten, die die Verwirrung noch verstärkten.
Insbesondere unterstützten alle führenden Historiker den Historizismus der Tokioter Prozesse und veröffentlichten eine Reihe von Forschungsergebnissen, die die gesamte Geschichte Japans in ein negatives Licht rückten.
Viele der Studenten, die diese Gelehrten unterrichteten, wurden Lehrer und lehrten ihren Kindern die masochistische Sicht der Geschichte.
So wurde der jüngeren Generation durch die historische Bildung nach und nach die historische Sicht der Tokioter Prozesse eingeprägt.
In einem seiner Bücher stellt Keiji Nagahara, emeritierter Professor der Hitotsubashi-Universität und Vorsitzender der Historischen Gesellschaft, sogar fest: „Die Tokioter Prozesse lehrtenht die japanische Geschichtsschreibung das richtige Geschichtsbild.
Die Realität ist, dass die Geschichtsakademie, mit wenigen Ausnahmen, immer noch auf ihrer Unterstützung des Geschichtsbildes des Tokioter Tribunals beharrt.
Die einzigen, die behaupten, ein richtiges Verständnis der Geschichte zu haben, sind Gelehrte, die keinerlei Verbindung zur Geschichtsgemeinde haben.
Zu ihnen gehören der Kritiker und Anglistik-Gelehrte Shoichi Watabe, der westliche Wirtschaftshistoriker Fumio Huang, der Germanistik-Gelehrte Kanji Nishio, die Philosophin Michiko Hasegawa, der Anglistik-Gelehrte Yutaka Nakamura, die Journalistin Yoshiko Sakurai, der ehemalige Offizier der Luftselbstverteidigungsstreitkräfte Tadato Ushio, der Germanistik- und Vergleichsliteratur-Gelehrte Keiichiro Kobori, der Gelehrte für europäische Diplomatiegeschichte und internationale Politik Terumasa Nakanishi, der Mathematiker und Essayist Masahiko Fujiwara und der japanische Geschichts- und Historiker-Essayist Masahiko Fujiwara, um nur einige zu nennen.
Sie alle sind in weitreichende intellektuelle Aktivitäten involviert, die über ihre Titel hinausgehen.
Dasselbe gilt für die Rechtsgemeinschaft.
Der Kern der Tokioter Prozesse war ein illegaler Lynchmord der Siegermächte, und selbst die Alliierten waren sich seiner Rechtmäßigkeit nicht sicher.
Kisaburo Yokota, Professor für Völkerrecht an der juristischen Fakultät der Kaiserlichen Universität Tokio, der als eine der weltweit führenden Autoritäten für Völkerrecht gilt, argumentierte jedoch überraschenderweise, dass die Tokioter Prozesse legitim seien.
In seinem Buch „Kriegsverbrechen“ akzeptierte er kritiklos die historische Sicht der Tokioter Prozesse. Er erklärte: „Es besteht kein Zweifel daran, dass in fast allen Nationen der intensive Wunsch besteht, den Angriffskrieg als internationales Verbrechen zu betrachten.“
Viele andere Rechtsgelehrte folgten damals lawinenartig diesem Beispiel, sodass die Macht der WGIP enorm war.
Kapitel 2: Wie wurde die masochistische Sicht der Geschichte demonstriert?
Keiji Nagahara, Historiography of 20th Century Japan, 2003, Yoshida Kobunkan
Theory of War Crimes" von Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, S. 98.
Die Regierung sollte behaupten, dass weder die Trostfrauenfrage noch das Nanking-Massaker "niemals stattgefunden haben.
Viele Argumente werfen Japan eine gewaltsame Überstellung von Trostfrauen vor, aber es gibt keine solchen Beweise, also muss es eine solche Überstellung gegeben haben.
Die Idee, dass "es keine Beweise dafür gibt, dass es nicht existierte, also muss es existiert haben", wird in der Logik als "Argument aus Unwissenheit" bezeichnet und ist völlig falsch.
Logisch gesehen ist es zweifellos schwierig zu beweisen, dass etwas nicht existierte, was als "Probatio Diabolica" (Teufelsbeweis) bekannt ist.
Um zu beweisen, dass es nicht existierte, müsste man alles im Universum gründlich untersuchen, was unmöglich ist.
Wenn Sie jedoch die Prämisse beweisen können, dass A und B nicht gleichzeitig existieren können, können Sie mit der Reductio absurdum beweisen, dass „B nicht existiert“, indem Sie nachweisen, dass „A existiert“.
Manche meinen, dies sei kein Beweis, da es indirekt, aber auf der Grundlage orthodoxer Logik hieb- und stichfest sei.
Die japanische Regierung sollte nicht unbefangen Dinge sagen wie: „Wir konnten die Tatsache, dass Trostfrauen gewaltsam entführt wurden, nicht bestätigen.“ Dennoch sollte sie klar und kategorisch erklären, dass „die Anschuldigungen unbegründet sind.“
Dieser Artikel wird fortgesetzt.
Aus Zeitgründen werde ich das Kapitel davor heute überspringen, es aber später veröffentlichen.
Das Trostfrauen-Thema
Das Trostfrauen-Thema ist eine komplette Erfindung.
Selbst koreanische Lehrbücher vor 1996 erwähnen es nicht.
Es ist keine Übertreibung zu sagen, dass alles mit Falschmeldungen und Erfindungen der Asahi Shimbun begann.
Die Asahi Shimbun gab ihren Fehler schließlich in ihrer Ausgabe vom 5. August 2014 zu und zog den Artikel zurück.
Die Zeitung gab auch zu, dass Yoshida Seijis Aussage, dass „Trostfrauen gewaltsam entführt wurden“, über die sie 16 Mal berichtet hatte, falsch war.
Sie entschuldigte sich jedoch nie und suchte weiterhin nach Entschuldigungen.
Es ist unverzeihlich, dass sie in den letzten 35 Jahren weiterhin eine masochistische Sicht der Geschichte gezeigt haben, ohne Korrekturen vorzunehmen.
Der Professor der Chuo-Universität, Yoshimi Yoshiaki, behauptete, Dokumente entdeckt zu haben, die die Beteiligung des Militärs belegen, und die Asahi Shimbun berichtete weithin darüber als „große Entdeckung“.
In Wirklichkeit war das Militär jedoch in die Erfüllung seiner sozialen Verantwortung involviert:
Um die Frauen vor Ort zu schützen.
Um die sexuellen Probleme der Soldaten zu lösen.
Um die Verbreitung sexuell übertragbarer Krankheiten zu verhindern.
Es handelt sich definitiv nicht um ein Dokument, das auf Zwangsentführungen hinweist.
Als die Kono-Erklärung bekannt gegeben wurde, wurden bei der Untersuchung keine Beweise für Zwangsentführungen durch das Militär gefunden.
Das koreanische Außenministerium stellte jedoch eine dringende Bitte: „Dies ist eine Angelegenheit, die die Ehre der ehemaligen Trostfrauen betrifft. Daher möchten wir, dass Sie Worte einfügen, die auf Zwang schließen lassen. Wenn Sie dies tun, werden wir sicherstellen, dass es in Zukunft keine Probleme mit Entschädigungen oder Ähnlichem geben wird.“
Um dies zu erreichen, zeigte die japanische Regierung der koreanischen Seite den Entwurf im Voraus und passte den Wortlaut an, sodass eine Erklärung entstand, die nur so gelesen werden konnte, als hätte das Militärd entführte die Trostfrauen gewaltsam.
Die Regierung hatte vorgehabt, das Problem mit einer „sanften, reifen Reaktion“ auf einen Schlag politisch zu regeln, aber das ging völlig nach hinten los.
Später wurde Rep. Mike Honda, der die Resolution zur Forderung einer Entschuldigung im US-Repräsentantenhaus vorgeschlagen hatte, im japanischen Fernsehen nach der Grundlage für Zwangsentführungen gefragt, aber er antwortete: „Die Erklärung wurde in Form der Kono-Erklärung abgegeben. Warum hat sich der japanische Premierminister aufrichtig entschuldigt?“
Wenn die Dinge so weitergehen, wird die Kono-Erklärung für immer eine Beleidigung Japans bleiben.
Die Erklärung wurde zitiert und entwickelt ein Eigenleben.
Dieser Artikel wird fortgesetzt.
2024/7/5 in Okayama
Saya menemukan kertas beberapa hari yang lalu ketika saya sedang mencari sesuatu.
Makalah ini dan penulisnya benar-benar baru bagi saya.
Saya lega mengetahui bahwa makalah ini sangat bagus dan penulisnya adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Tokyo dan anggota aktif Itochu Corporation.
Setelah saya memasuki dunia kerja, saya bertemu dengan dua sahabat saya selama sisa hidup saya.
Keduanya adalah karyawan ITOCHU Corporation.
Mereka berdua adalah pengusaha yang sangat berbakat dan memegang posisi penting di perusahaan.
Nama perusahaan tersebut muncul dalam wacana baru-baru ini, bersamaan dengan pernyataan Uichiro Niwa yang pro-Tiongkok.
Saya merasa sangat malu.
Melalui pergaulan saya dengan mereka, saya merasa bahwa kekuatan sebuah perusahaan dagang terletak pada kenyataan bahwa setiap karyawannya, bisa dikatakan, adalah manajer sebuah perusahaan kecil atau menengah.
Mereka hebat dalam menganalisis neraca klien mereka dan memahami keadaan perusahaan.
Atau kemampuan untuk melihat perkiraan konstruksi yang signifikan, langsung memeriksa setiap detail, dan menilai kesesuaian harga, sesuatu yang bahkan akan membuat kontraktor umum terkemuka di Jepang bergidik ketakutan.
Kekuatan Jepang terletak pada kombinasi kecerdasan, kekuatan fisik, dan energi.
Pesan korporat ITOCHU Corporation, "Satu Pedagang, Segudang Misi," terpampang di jaring belakang Stadion Jingu, kandang tim bisbol Yakult, dan setiap kali saya melihatnya, saya pikir itu benar sekali.
Bagaimana biografi penulis Takehiko Aoyagi di awal artikel ini?
(Profesor Universitas Internasional Jepang, Doktor Filsafat.
Ia lahir di Kota Kiryu, Prefektur Gunma, pada tahun 1934. Ia lulus dari Sekolah Menengah Atas Kiryu.
Lulus dari Universitas Tokyo, Fakultas Ekonomi pada tahun 1958 dan bergabung dengan ITOCHU Corporation.
Beliau pernah menjabat sebagai General Manager di Sydney Foods Department, General Manager di Agricultural Foods Department di kantor pusat, dan Director ITOCHU System Development Corporation, dan beberapa posisi lainnya.
Dari tahun 1985 hingga 1997, ia menjabat sebagai presiden dan Ketua Nippon Telematic Corporation, sebuah perusahaan patungan 50-50 antara ITOCHU Corporation dan NTT Corporation.
Dari tahun 1995 hingga 2006, beliau menjabat sebagai Wakil Presiden dan Profesor di GLOBECOM, Universitas Internasional Jepang, dan dari tahun 2006 hingga 2016, beliau menjadi Profesor Tamu di GLOBECOM.
Bidang penelitiannya meliputi ekonomi, administrasi bisnis, keuangan, sosiologi informasi, hukum, politik internasional, dan teori keamanan, dan ia memproklamirkan diri sebagai seorang generalis dalam ilmu-ilmu sosial.
Dia adalah penulis "Strategi Videotex" (Ilmu Informasi), "Masyarakat Pengawasan Siber" (Asosiasi Kemajuan Telekomunikasi), "Informasi Pribadi" Atas "Perlindungan Akan Menghancurkan Jepang" (Softbank Shinsho), "Penelitian Privasi di Era Informasi" ( NTT Publishing), “Roosevelt Mengkhianati Rakyat Amerika dan Menyeret Jepang ke dalam Perang”, “Sejarah Jepang yang Dipelintir oleh Amerika untuk Melucuti Mental Orang Jepang” (Heart Publishing), dan masih banyak lainnya.
Pak Aoyagi menemukan sebuah makalah yang memenangkan Penghargaan Esai "Sejarah Modern Sejati" Tahunan ke-7 untuk Keunggulan dari APA Group.
Ini adalah makalah yang wajib dibaca tidak hanya oleh orang Jepang tetapi juga oleh orang-orang di seluruh dunia.
Bagian yang tak terhitung jumlahnya dengan sempurna menggambarkan struktur otak Arima dan karyawan NHK yang mengendalikan NHK/Watch9, yang menurut saya tidak dapat dimaafkan malam itu.
Mengapa orang Jepang begitu mudah menjadi korban WGIP?
Pertama, WGIP dirahasiakan dengan baik dan dilaksanakan secara diam-diam sehingga pihak Jepang bahkan tidak mengetahui adanya program cuci otak.
Sejak AS memperkenalkan gagasan demokrasi dalam skala besar, negara ini mengambil posisi sentral dalam ideologi dan filosofi pendidikan Jepang pascaperang.
Masyarakat Jepang tidak pernah menyangka bahwa GHQ, badan utama sistem ini, menolak “kebebasan berpendapat” dan mendukung cuci otak.
Kedua, sebagian besar dari apa yang disebarkan GHQ diklasifikasikan sebagai rahasia masa perang.
Karena seluruh sejarah militer telah dihancurkan, rakyat Jepang tidak memiliki cara untuk memverifikasi kebenaran apa yang dikatakan.
Oleh karena itu, masyarakat Jepang yakin bahwa kaum militeris berbohong dan menipu masyarakat.
Ketiga, hampir semua akademisi yang dipercaya Jepang tidak kritis dan siap menerima pandangan sejarah Pengadilan Tokyo dan secara aktif mempromosikannya dengan menerbitkan artikel dan buku yang menambah kebingungan.
Secara khusus, semua sejarawan terkemuka mendukung Tokyo Trial Historicism dan menerbitkan serangkaian hasil penelitian yang memberikan pandangan negatif terhadap seluruh sejarah Jepang.
Banyak siswa yang diajar oleh para cendekiawan ini menjadi guru dan mengajari anak-anak mereka pandangan masokis tentang sejarah.
Dengan demikian, pandangan sejarah Ujian Tokyo satu demi satu terpatri pada generasi muda melalui pendidikan sejarah.
Dalam salah satu bukunya, Keiji Nagahara, profesor emeritus di Universitas Hitotsubashi dan Ketua Masyarakat Sejarah, bahkan menyatakan, “Ujian Tokyo mengajarkanht historiografi Jepang pandangan yang benar tentang sejarah.
Kenyataannya adalah, dengan beberapa pengecualian, akademi sejarah masih tetap mendukung pandangan Pengadilan Tokyo tentang sejarah.
Satu-satunya orang yang mengaku memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah adalah para sarjana yang tidak memiliki hubungan dengan komunitas sejarah.
Diantaranya adalah kritikus dan sarjana Inggris Shoichi Watabe, sejarawan ekonomi Barat Fumio Huang, sarjana sastra Jerman Kanji Nishio, filsuf Michiko Hasegawa, sarjana sastra Inggris Yutaka Nakamura, jurnalis Yoshiko Sakurai, mantan perwira Angkatan Udara Bela Diri Tadato Ushio, sastra dan komparatif Jerman sarjana sastra Keiichiro Kobori, sarjana sejarah diplomatik Eropa dan politik internasional Terumasa Nakanishi, matematikawan dan penulis esai Masahiko Fujiwara, dan sarjana sejarah Jepang dan penulis esai sejarawan Masahiko Fujiwara, adalah beberapa di antaranya.
Mereka semua terlibat dalam aktivitas intelektual luas yang melampaui gelar mereka.
Hal serupa juga terjadi di komunitas hukum.
Inti dari Pengadilan Tokyo adalah hukuman mati tanpa pengadilan yang dilakukan secara ilegal oleh negara-negara yang menang, dan bahkan Sekutu pun tidak yakin akan keabsahannya.
Namun, Kisaburo Yokota, seorang profesor hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Kekaisaran Tokyo, yang dianggap sebagai salah satu otoritas hukum internasional terkemuka di dunia, secara mengejutkan berpendapat bahwa Pengadilan Tokyo adalah sah.
Dalam bukunya "Kejahatan Perang", dia dengan tidak kritis menerima pandangan sejarah Pengadilan Tokyo. Ia menyatakan, "Tidak ada keraguan bahwa terdapat keinginan yang kuat di antara hampir semua negara untuk menganggap perang agresi sebagai kejahatan internasional."
Banyak pakar hukum lain yang mengikuti jejaknya seperti longsoran salju, sehingga kekuatan WGIP sangat besar.
Bab 2: Bagaimana pandangan masokis terhadap sejarah ditunjukkan?
Keiji Nagahara, Historiografi Jepang Abad ke-20, 2003, Yoshida Kobunkan
Teori Kejahatan Perang," oleh Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, hal. 98.
Pemerintah harus menegaskan bahwa baik isu perempuan penghibur maupun Pembantaian Nanking “tidak pernah terjadi.
Banyak argumen yang menuduh Jepang melakukan pemindahan paksa wanita penghibur, namun tidak ada bukti seperti itu, jadi pasti ada pemindahan seperti itu.
Gagasan bahwa 'tidak ada bukti bahwa hal itu tidak ada, jadi pasti ada' disebut 'argumen dari ketidaktahuan' dalam logika dan sepenuhnya salah.
Secara logika, tidak diragukan lagi sulit untuk membuktikan bahwa sesuatu itu tidak ada, yang dikenal sebagai "Probatio Diabolica" (Pembuktian Setan).
Untuk membuktikan bahwa alam semesta tidak ada, seseorang harus memeriksa secara menyeluruh segala sesuatu di alam semesta, dan hal ini mustahil.
Namun, dengan menggunakan reductio absurdum, jika Anda dapat membuktikan premis bahwa A dan B tidak dapat ada secara bersamaan, maka Anda dapat membuktikan bahwa "B tidak ada" dengan menunjukkan bahwa "A ada".
Ada yang bilang ini bukan bukti karena tidak langsung tapi kedap suara berdasarkan logika ortodoks.
Pemerintah Jepang tidak boleh dengan tidak percaya diri mengatakan hal-hal seperti, "Kami tidak dapat memastikan fakta bahwa wanita penghibur diambil secara paksa." Namun, harus dinyatakan dengan jelas dan tegas bahwa "tuduhan tersebut tidak berdasar."
Artikel ini berlanjut.
Karena keterbatasan waktu, saya akan melewatkan bab sebelumnya hari ini tetapi akan mempostingnya nanti.
Masalah wanita penghibur
Masalah wanita penghibur adalah sebuah rekayasa belaka.
Bahkan buku pelajaran Korea sebelum tahun 1996 tidak menyebutkannya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semua ini berawal dari kesalahan pelaporan dan pemalsuan yang dilakukan oleh Asahi Shimbun.
Asahi Shimbun akhirnya mengakui kesalahannya pada edisi 5 Agustus 2014 dan mencabut artikel tersebut.
Surat kabar tersebut juga mengakui bahwa kesaksian Yoshida Seiji bahwa "wanita penghibur dibawa pergi secara paksa", yang telah diliput sebanyak 16 kali, adalah salah.
Namun, pihaknya tidak pernah meminta maaf dan terus mencari-cari alasan.
Tidak bisa dimaafkan jika mereka terus menampilkan pandangan masokis terhadap sejarah selama 35 tahun terakhir tanpa melakukan koreksi apa pun.
Profesor Universitas Chuo Yoshimi Yoshiaki mengaku telah menemukan dokumen yang menunjukkan keterlibatan militer, dan Asahi Shimbun secara luas melaporkan hal ini sebagai "penemuan besar".
Namun pada kenyataannya, militer terlibat dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya:
Untuk melindungi perempuan setempat.
Untuk menyelesaikan masalah seksual tentara.
Untuk mencegah penyebaran penyakit menular seksual.
Ini jelas bukan dokumen yang mengindikasikan penculikan paksa.
Pada saat Pernyataan Kono diumumkan, tidak ditemukan bukti penculikan paksa oleh militer dalam penyelidikan.
Namun, Kementerian Luar Negeri Korea mengajukan permintaan yang kuat dengan mengatakan, "Ini adalah masalah yang menyangkut kehormatan mantan wanita penghibur, jadi kami ingin Anda memasukkan kata-kata yang menyiratkan pemaksaan. Jika Anda melakukannya, kami akan memastikan bahwa tidak akan ada masalah di masa depan dengan kompensasi atau apa pun."
Untuk mencapai hal ini, pemerintah Jepang menunjukkan rancangan tersebut kepada pihak Korea terlebih dahulu dan menyesuaikan kata-katanya, sehingga menciptakan pernyataan yang hanya dapat dibaca seolah-olah militer telah melakukan hal tersebut.d secara paksa menculik wanita penghibur.
Pemerintah bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini secara politis dengan "respon yang lembut dan matang", namun hal ini malah menjadi bumerang.
Kemudian, anggota DPR Mike Honda, yang mengusulkan resolusi tersebut dan menuntut permintaan maaf di Dewan Perwakilan Rakyat AS, ditanya di televisi Jepang tentang dasar penculikan paksa, namun dia menjawab, "Pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk Pernyataan Kono . Mengapa Perdana Menteri Jepang meminta maaf dengan tulus?"
Jika hal ini terus berlanjut, Pernyataan Kono akan terus menjadi penghinaan bagi Jepang selamanya.
Pernyataan itu telah dikutip dan menjadi kenyataan.
Artikel ini berlanjut.
2024/7/5 in Okayama
L'altro giorno ho trovato un foglio mentre cercavo qualcosa.
Questo articolo e il suo autore erano completamente nuovi per me.
Fui sollevato nell'apprendere che l'articolo era eccellente e che l'autore era laureato alla Facoltà di Economia dell'Università di Tokyo e membro attivo della Itochu Corporation.
Dopo essere entrato nel mondo del lavoro, ho incontrato due dei miei migliori amici per il resto della mia vita.
Entrambi erano dipendenti della ITOCHU Corporation.
Erano entrambi uomini d'affari di grande talento e ricoprivano incarichi importanti all'interno dell'azienda.
Il nome dell'azienda è apparso di recente nel discorso, insieme alle dichiarazioni pro-Cina di Uichiro Niwa.
Provavo sentimenti di intenso imbarazzo.
Attraverso la mia collaborazione con loro ho sentito che la forza di un'azienda commerciale sta nel fatto che ogni dipendente è, per così dire, un manager di una piccola o media azienda.
Sono fantastici nell'analizzare i bilanci dei loro clienti e nel cogliere lo stato dell'azienda.
Oppure la capacità di esaminare un preventivo di costruzione significativo, controllare immediatamente ogni dettaglio e giudicare l'adeguatezza del prezzo, qualcosa che farebbe rabbrividire di paura anche i principali appaltatori generali giapponesi.
La forza del Giappone risiede nella combinazione di intelligenza, forza fisica ed energia.
Il messaggio aziendale di ITOCHU Corporation, "Un commerciante, una miriade di missioni", è visualizzato sulla rete posteriore dello stadio Jingu, il campo di casa della squadra di baseball Yakult, e ogni volta che lo vedo, penso che sia esattamente corretto.
Qual è la biografia dell'autore, Takehiko Aoyagi, all'inizio di questo articolo?
(Professore dell'Università Internazionale del Giappone, Dottore in Filosofia.
È nato nella città di Kiryu, nella prefettura di Gunma, nel 1934. Si è diplomato alla Kiryu Senior High School.
Laureato presso l'Università di Tokyo, Facoltà di Economia nel 1958 ed è entrato a far parte della ITOCHU Corporation.
Ha ricoperto, tra gli altri incarichi, il ruolo di Direttore generale del Dipartimento alimentare di Sydney, Direttore generale del Dipartimento alimentare agricolo presso la sede centrale e Direttore della ITOCHU System Development Corporation.
Dal 1985 al 1997 è stato presidente e presidente della Nippon Telematic Corporation, una joint venture 50-50 tra ITOCHU Corporation e NTT Corporation.
Dal 1995 al 2006 è stato Vice Presidente e Professore presso GLOBECOM, Università Internazionale del Giappone, e dal 2006 al 2016 è stato Visiting Professor presso GLOBECOM.
Le sue aree di ricerca includono economia, amministrazione aziendale, finanza, sociologia dell'informazione, diritto, politica internazionale e teoria della sicurezza, ed è un autoproclamato generalista nelle scienze sociali.
È autore di "Videotex Strategy" (Scienza dell'informazione), "Cyber Surveillance Society" (Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" ( NTT Publishing), "Roosevelt tradì il popolo americano e trascinò il Giappone in guerra", "La storia del Giappone distorta dall'America per disarmare mentalmente i giapponesi" (Heart Publishing) e molti altri.
Il signor Aoyagi si è imbattuto in un articolo che ha vinto il settimo premio annuale di eccellenza per il saggio sulla "vera storia moderna" del gruppo APA.
È un documento da leggere non solo per il popolo giapponese ma per le persone di tutto il mondo.
Innumerevoli passaggi descrivono perfettamente la struttura cerebrale di Arima e dei dipendenti NHK che controllano NHK/Watch9, cosa che l'altra sera ho trovato imperdonabile.
Perché il popolo giapponese è caduto preda del WGIP così facilmente?
In primo luogo, il WGIP era così ben nascosto e implementato segretamente che i giapponesi non sapevano nemmeno dell’esistenza del programma di lavaggio del cervello.
Da quando gli Stati Uniti hanno introdotto l’idea di democrazia su larga scala, hanno assunto una posizione centrale nell’ideologia e nella filosofia educativa del Giappone del dopoguerra.
Il popolo giapponese non si sarebbe mai sognato che il GHQ, l'organo principale del sistema, negasse la "libertà di parola" e promuovesse il lavaggio del cervello.
In secondo luogo, gran parte di ciò che il GHQ propagava era classificato come segreti di guerra.
Poiché tutta la storia militare era stata distrutta, il popolo giapponese non aveva modo di verificare la verità di quanto affermato.
Pertanto, il popolo giapponese credeva senza alcun dubbio che i militaristi mentissero e ingannassero il pubblico.
In terzo luogo, quasi tutti gli accademici di cui i giapponesi si fidano hanno accettato acriticamente e prontamente la visione storica dei processi di Tokyo e l’hanno attivamente promossa pubblicando articoli e libri che hanno amplificato la confusione.
In particolare, tutti i principali storici hanno sostenuto lo storicismo del processo di Tokyo e hanno pubblicato una serie di risultati di ricerche che gettano tutta la storia del Giappone in una luce negativa.
Molti degli studenti a cui questi studiosi hanno insegnato sono diventati insegnanti e hanno insegnato ai loro figli la visione masochistica della storia.
Pertanto, la visione storica dei processi di Tokyo è stata impressa una dopo l’altra nelle generazioni più giovani attraverso l’educazione storica.
In uno dei suoi libri, Keiji Nagahara, professore emerito all'Università di Hitotsubashi e presidente della Historical Society, afferma addirittura: "The Tokyo Trials tau
combattere la storiografia giapponese per la corretta visione della storia.
La realtà è che, con poche eccezioni, l'accademia storica è ancora radicata nel suo sostegno alla visione della storia del Tribunale di Tokyo.
Le uniche persone che affermano di avere una corretta comprensione della storia sono gli studiosi che non hanno alcun legame con la comunità storica.
Tra loro ci sono il critico e studioso inglese Shoichi Watabe, lo storico economico occidentale Fumio Huang, lo studioso di letteratura tedesco Kanji Nishio, il filosofo Michiko Hasegawa, lo studioso di letteratura inglese Yutaka Nakamura, il giornalista Yoshiko Sakurai, l'ex ufficiale dell'Air Self-Defense Force Tadato Ushio, il letterato tedesco e comparato lo studioso di letteratura Keiichiro Kobori, lo studioso di storia diplomatica europea e di politica internazionale Terumasa Nakanishi, il matematico e saggista Masahiko Fujiwara e lo studioso di storia e storico saggista giapponese Masahiko Fujiwara, solo per citarne alcuni.
Tutti loro sono impegnati in attività intellettuali di ampio respiro che vanno oltre i loro titoli.
Lo stesso vale nella comunità giuridica.
La sostanza del Processo di Tokyo fu un linciaggio illegale da parte delle potenze vincitrici, e perfino gli Alleati non erano sicuri della sua validità.
Tuttavia, Kisaburo Yokota, professore di diritto internazionale presso la Facoltà di Giurisprudenza dell'Università Imperiale di Tokyo, era considerato una delle principali autorità mondiali in materia di diritto internazionale, e sorprendentemente sostenne che i processi di Tokyo erano legittimi.
Nel suo libro "Crimini di guerra" accettò acriticamente la visione storica dei processi di Tokyo. Ha affermato: "Non c'è dubbio che quasi tutte le nazioni esista un intenso desiderio di considerare la guerra di aggressione come un crimine internazionale".
Molti altri studiosi di diritto seguirono l'esempio come una valanga allora, quindi il potere del WGIP fu enorme.
Capitolo 2: Come è stata dimostrata la visione masochista della storia?
Keiji Nagahara, Storiografia del Giappone del XX secolo, 2003, Yoshida Kobunkan
Teoria dei crimini di guerra", di Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, p. 98.
Il governo dovrebbe affermare che né la questione delle donne di conforto né il massacro di Nanchino “non sono mai accaduti”.
Molti argomenti accusano il Giappone di una consegna forzata di donne di conforto, ma non ci sono prove del genere, quindi deve esserci stata una tale consegna.
L'idea che "non c'è prova che non esistesse, quindi deve essere esistita" è chiamata in logica un "argomento basato sull'ignoranza" ed è completamente sbagliata.
Logicamente parlando, è indubbiamente difficile dimostrare che qualcosa non esisteva, noto come "Probatio Diabolica" (La prova del diavolo).
Per dimostrare che non esiste, bisogna esaminare a fondo ogni cosa nell'universo, il che è impossibile.
Tuttavia, utilizzando la reductioassurdum, se riesci a dimostrare la premessa secondo cui sia A che B non possono esistere contemporaneamente, allora puoi dimostrare che "B non esiste" dimostrando che "A esiste".
Alcuni dicono che questa non è una prova perché è indiretta ma fondata sulla logica ortodossa.
Il governo giapponese non dovrebbe dire con sicurezza cose del tipo: "Non possiamo confermare il fatto che le donne di conforto siano state prese con la forza". Tuttavia, dovrebbe essere chiaro e categorico affermare che "le accuse sono infondate".
Questo articolo continua.
A causa dei limiti di tempo, salterò il capitolo precedente a questo oggi ma lo pubblicherò più tardi.
Problema delle donne di conforto
La questione delle donne di conforto è una completa invenzione.
Perfino i libri di testo coreani prima del 1996 non ne parlano.
Non è esagerato affermare che tutto è iniziato con false dichiarazioni e falsificazioni da parte dell'Asahi Shimbun.
L'Asahi Shimbun ha finalmente ammesso il suo errore nell'edizione del 5 agosto 2014 e ha ritirato l'articolo.
Il giornale ha anche ammesso che la testimonianza di Yoshida Seiji secondo cui "le donne di conforto venivano portate via con la forza", di cui aveva parlato 16 volte, era falsa.
Tuttavia, non si è mai scusato e ha continuato a scusarsi.
È imperdonabile che abbiano continuato a mostrare una visione masochistica della storia negli ultimi 35 anni senza apportare alcuna correzione.
Il professore dell'Università di Chuo, Yoshimi Yoshiaki, ha affermato di aver scoperto documenti che mostrano il coinvolgimento dei militari, e l'Asahi Shimbun ha ampiamente riportato questa notizia come una "scoperta importante".
Tuttavia, in realtà, i militari erano coinvolti nell’adempimento delle proprie responsabilità sociali:
Per proteggere le donne locali.
Per risolvere i problemi sessuali dei soldati.
Per prevenire la diffusione delle malattie sessualmente trasmissibili.
Sicuramente non è un documento che indichi rapimenti forzati.
Al momento dell'annuncio della dichiarazione di Kono, nelle indagini non è stata trovata alcuna prova di rapimenti forzati da parte dei militari.
Tuttavia, il Ministero coreano degli Affari Esteri ha avanzato una forte richiesta, affermando: "Questa è una questione che riguarda l'onore delle ex donne di conforto, quindi vogliamo che tu includa parole che suggeriscano la coercizione. Se lo fai, faremo in modo che non ci saranno problemi futuri con risarcimenti o altro."
Per raggiungere questo obiettivo, il governo giapponese ha mostrato in anticipo la bozza alla parte coreana e ne ha modificato la formulazione, creando una dichiarazione che poteva essere letta solo come se i militariaveva rapito con la forza le donne di conforto.
Il governo aveva intenzione di risolvere la questione politicamente in un colpo solo con una "risposta gentile e matura", ma si è completamente ritorto contro.
Più tardi, il deputato Mike Honda, che aveva proposto la risoluzione chiedendo scuse alla Camera dei Rappresentanti degli Stati Uniti, è stato interrogato dalla televisione giapponese sulle ragioni dei rapimenti forzati, ma lui ha risposto: "La dichiarazione è stata fatta sotto forma di Dichiarazione di Kono . Perché il primo ministro giapponese si è scusato sinceramente?"
Se le cose continuano in questo modo, la Dichiarazione di Kono continuerà ad essere un insulto al Giappone per sempre.
La dichiarazione è stata citata e sta assumendo vita propria.
Questo articolo continua.
2024/7/5 i Okayama
This paper and its author were utterly new to me.
I was relieved to learn that the paper was excellent and that the author was a graduate of the University of Tokyo's Faculty of Economics and an active member of Itochu Corporation.
After I entered the workforce, I met two of my best friends for the rest of my life.
Both were employees of ITOCHU Corporation.
They were both highly talented businessmen and held important positions in the company.
The company's name has appeared in the discourse recently, along with Uichiro Niwa's pro-China statements.
I had feelings of intense embarrassment.
Through my association with them, I felt that the strength of a trading company lies in the fact that every employee is, so to speak, a manager of a small or medium-sized company.
They are fantastic at analyzing their clients' balance sheets and grasping the company's state.
Or the ability to look at a significant construction estimate, instantly check every detail, and judge the appropriateness of the price, something that would make even Japan's leading general contractors shudder with fear.
The strength of Japan lies in the combination of intelligence, physical strength, and energy.
ITOCHU Corporation's corporate message, "One Merchant, Myriad Missions," is displayed on the back net of Jingu Stadium, the Yakult baseball team's home field, and every time I see it, I think it is exactly right.
What is the author's biography, Takehiko Aoyagi, at the beginning of this article?
(Professor of International University of Japan, Doctor of Philosophy.
He was born in Kiryu City, Gunma Prefecture, in 1934. He was graduated from Kiryu Senior High School.
Graduated from the University of Tokyo, Faculty of Economics in 1958 and joined ITOCHU Corporation.
He served as General Manager of the Sydney Foods Department, General Manager of the Agricultural Foods Department at the head office, and Director of ITOCHU System Development Corporation, among other positions.
From 1985 to 1997, he served as president and Chairman of Nippon Telematic Corporation, a 50-50 joint venture between ITOCHU Corporation and NTT Corporation.
From 1995 to 2006, he served as Vice President and Professor at GLOBECOM, International University of Japan, and from 2006 to 2016, he was Visiting Professor at GLOBECOM.
His research areas include economics, business administration, finance, sociology of information, law, international politics, and security theory, and he is a self-proclaimed generalist in the social sciences.
He is the author of "Videotex Strategy" (Information Science), "Cyber Surveillance Society" (Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" (NTT Publishing), " Roosevelt Betrayed the American People and Dragged Japan into War", "The History of Japan Twisted by America to Mentally Disarm the Japanese" (Heart Publishing), and many others.
Mr. Aoyagi stumbled upon a paper that won the APA Group's 7th Annual "True Modern History" Essay Prize for Excellence.
It is a must-read paper not only for the Japanese people but for people worldwide.
Countless passages perfectly describe the brain structure of Arima and the NHK employees who control NHK/Watch9, which I found unforgivable the other night.
Why did the Japanese people fall prey to WGIP so easily?
First, the WGIP was so well concealed and secretly implemented that the Japanese did not even know of the existence of the brainwashing program.
Since the U.S. introduced the idea of democracy on a large scale, it took a central position in Japan's postwar ideology and educational philosophy.
The Japanese people had never dreamed that GHQ, the principal body of the system, was denying "freedom of speech" and promoting brainwashing.
Second, much of what GHQ propagated was classified as wartime secrets.
Since all military history had been destroyed, the Japanese people had no way of verifying the truth of what was said.
Therefore, the Japanese people believed without any doubt that the militarists lied and deceived the public.
Third, almost all academics whom the Japanese trust have uncritically and readily accepted the historical view of the Tokyo Trials and have actively promoted it by publishing articles and books that have amplified the confusion.
In particular, all leading historians supported the Tokyo Trial Historicism and published a series of research results that cast all of Japan's history in a negative light.
Many of the students these scholars taught became teachers and taught their children the masochistic view of history.
Thus, the historical view of the Tokyo Trials was imprinted on the younger generation one after another through historical education.
In one of his books, Keiji Nagahara, professor emeritus at Hitotsubashi University and Chairman of the Historical Society, even states, "The Tokyo Trials taught Japanese historiography the correct view of history.
The reality is that, with a few exceptions, the historical academy is still entrenched in its support for the Tokyo Tribunal's view of history.
The only people who claim to have a proper understanding of history are scholars who have no connection to the historical community.
Among them are critic and English scholar Shoichi Watabe, Western economic historian Fumio Huang, German literature scholar Kanji Nishio, philosopher Michiko Hasegawa, English literature scholar Yutaka Nakamura, journalist Yoshiko Sakurai, former Air Self-Defense Force officer Tadato Ushio, German literature and comparative literature scholar Keiichiro Kobori, European diplomatic history and international politics scholar Terumasa Nakanishi, mathematician and essayist Masahiko Fujiwara, and Japanese history scholar and historian essayist Masahiko Fujiwara, to name a few.
All of them are engaged in wide-ranging intellectual activities that extend beyond their titles.
The same is true in the legal community.
The substance of the Tokyo Trials was an illegal lynching by the victorious powers, and even the Allies were unsure of its validity.
However, Kisaburo Yokota, a professor of international law at the Faculty of Law of Tokyo Imperial University, was regarded as one of the world's leading authorities on international law, surprisingly argued that the Tokyo Trials were legitimate.
In his book "War Crimes," he uncritically accepted the historical view of the Tokyo Trials. He stated, "There is no doubt that there is an intense desire among almost all nations to regard the war of aggression as an international crime."
Many other legal scholars followed suit like an avalanche then, so the WGIP's power was tremendous.
The following is a continuation of the previous chapter.
Texts marked with * through * are mine.
Chapter 2: How was the masochistic view of history demonstrated?
Keiji Nagahara, Historiography of 20th Century Japan, 2003, Yoshida Kobunkan
Theory of War Crimes," by Kisaburo Yokota, 1947, Yuhikaku, p. 98.
The government should assert that neither the comfort women issue nor the Nanking Massacre "never happened.
Many arguments accuse Japan of a forcible rendition of comfort women, but there is no such evidence, so there must have been such a rendition.
The idea that 'there is no evidence that it did not exist, so it must have existed' is called an 'argument from ignorance' in logic and is completely wrong.
Logically speaking, it is undoubtedly tough to prove that something did not exist, known as "Probatio Diabolica" ( Devil's Proof).
To prove that it didn't exist, one must thoroughly examine everything in the universe, which is impossible.
However, using reductio absurdum, if you can prove the premise that both A and B can't exist simultaneously, then you can prove that "B does not exist" by demonstrating that "A exists."
Some say this is not proof because it is indirect but soundproof based on orthodox logic.
The Japanese government should not unconfidently say things like, "We could not confirm the fact that comfort women were forcibly taken." Still, it should clearly and categorically state that "the allegations are baseless."
This article continues.
2024/7/5 in OKayama
30.08.2020
Ich habe neulich auf der Suche nach etwas einen Artikel gefunden.
Dieser Artikel und sein Autor waren mir völlig neu.
Ich war erleichtert, als ich erfuhr, dass der Artikel ausgezeichnet war und dass der Autor Absolvent der Fakultät für Wirtschaftswissenschaften der Universität Tokio und aktives Mitglied der Itochu Corporation war.
Nachdem ich ins Berufsleben eingetreten war, lernte ich zwei meiner besten Freunde für den Rest meines Lebens kennen.
Beide waren Mitarbeiter der ITOCHU Corporation.
Sie waren beide hochtalentierte Geschäftsleute und hatten wichtige Positionen im Unternehmen inne.
Der Name des Unternehmens tauchte kürzlich im Diskurs auf, zusammen mit Uichiro Niwas pro-chinesischen Aussagen.
Ich war sehr verlegen.
Durch meine Verbindung mit ihnen spürte ich, dass die Stärke eines Handelsunternehmens darin liegt, dass jeder Mitarbeiter sozusagen ein Manager eines kleinen oder mittelgroßen Unternehmens ist.
Sie sind fantastisch darin, die Bilanzen ihrer Kunden zu analysieren und den Zustand des Unternehmens zu erfassen.
Oder die Fähigkeit, sich einen bedeutenden Baukostenvoranschlag anzusehen, sofort jedes Detail zu prüfen und die Angemessenheit des Preises zu beurteilen, etwas, das selbst Japans führende Generalunternehmer vor Angst erschauern lassen würde.
Die Stärke Japans liegt in der Kombination aus Intelligenz, körperlicher Stärke und Energie.
Die Unternehmensbotschaft der ITOCHU Corporation „Ein Händler, unzählige Missionen“ wird auf dem hinteren Netz des Jingu-Stadions angezeigt, dem Heimstadion des Yakult-Baseballteams, und jedes Mal, wenn ich sie sehe, denke ich, dass sie genau richtig ist.
Wie lautet die Biografie des Autors, Takehiko Aoyagi, am Anfang dieses Artikels?
(Professor der International University of Japan, Doktor der Philosophie.
Er wurde 1934 in Kiryu City, Präfektur Gunma, geboren. Er machte seinen Abschluss an der Kiryu Senior High School.
Er machte 1958 seinen Abschluss an der Fakultät für Wirtschaftswissenschaften der Universität Tokio und trat der ITOCHU Corporation bei.
Er war unter anderem General Manager der Lebensmittelabteilung in Sydney, General Manager der Abteilung für Agrarlebensmittel in der Hauptniederlassung und Direktor der ITOCHU System Development Corporation.
Von 1985 bis 1997 war er Präsident und Vorsitzender der Nippon Telematic Corporation, einem 50:50-Joint-Venture zwischen ITOCHU Corporation und NTT Corporation.
Von 1995 bis 2006 war er Vizepräsident und Professor an der GLOBECOM, International University of Japan, und von 2006 bis 2016 war er Gastprofessor an der GLOBECOM.
Zu seinen Forschungsgebieten gehören Wirtschaftswissenschaften, Betriebswirtschaft, Finanzen, Informationssoziologie, Recht, internationale Politik und Sicherheitstheorie, und er bezeichnet sich selbst als Generalist der Sozialwissenschaften.
Er ist der Autor von „Videotex Strategy“ (Information Science), „Cyber Surveillance Society“ (Telecommunications Advancement Association), „Personal Information „Over“ Protection Will Destroy Japan“ (Softbank Shinsho), „Privacy Research in the Information Age“ (NTT Publishing), „Roosevelt Betrayed the American People and Dragged Japan into War“, „The History of Japan Twisted by America to Mentally Disarm the Japanese“ (Heart Publishing) und vielen anderen.
Herr Aoyagi stieß auf einen Aufsatz, der den 7. jährlichen Essaypreis „True Modern History“ der APA Group für herausragende Leistungen gewann.
Er ist ein unverzichtbarer Aufsatz, nicht nur für die Japaner, sondern für Menschen auf der ganzen Welt.
Unzählige Passagen beschreiben perfekt die Gehirnstruktur von Arima und den NHK-Mitarbeitern, die NHK/Watch9 kontrollieren, was ich neulich Abend unverzeihlich fand.
Warum fielen die Japaner so leicht der WGIP zum Opfer?
Erstens war die WGIP so gut verborgen und im Geheimen umgesetzt, dass die Japaner nicht einmal von der Existenz des Gehirnwäscheprogramms wussten.
Seit die USA die Idee der Demokratie in großem Maßstab eingeführt hatten, nahm sie eine zentrale Stellung in Japans Nachkriegsideologie und Bildungsphilosophie ein.
Die Japaner hätten nie geglaubt, dass das GHQ, das Hauptorgan des Systems, die „Meinungsfreiheit“ verweigerte und Gehirnwäsche förderte.
Zweitens wurde vieles, was das GHQ propagierte, als Kriegsgeheimnis eingestuft.
Da die gesamte Militärgeschichte vernichtet worden war, hatte das japanische Volk keine Möglichkeit, die Wahrheit der Aussagen zu überprüfen.
Daher glaubte das japanische Volk ohne jeden Zweifel, dass die Militaristen die Öffentlichkeit belogen und täuschten.
Drittens haben fast alle Akademiker, denen die Japaner vertrauen, die historische Sicht der Tokioter Prozesse unkritisch und bereitwillig übernommen und sie aktiv gefördert, indem sie Artikel und Bücher veröffentlichten, die die Verwirrung noch verstärkten.
Insbesondere unterstützten alle führenden Historiker den Historizismus der Tokioter Prozesse und veröffentlichten eine Reihe von Forschungsergebnissen, die die gesamte Geschichte Japans in ein negatives Licht rückten.
Viele der Studenten, die diese Gelehrten unterrichteten, wurden Lehrer und vermittelten ihren Kindern die masochistische Sicht der Geschichte.
So wurde der jüngeren Generation durch die historische Bildung nach und nach die historische Sicht der Tokioter Prozesse eingeprägt.
In einem seiner Bücher stellt Keiji Nagahara, emeritierter Professor der Hitotsubashi-Universität und Vorsitzender der Historischen Gesellschaft, sogar fest: „Die Tokioter Prozesseals lehrten die japanische Geschichtsschreibung das richtige Geschichtsbild.
Die Realität ist, dass die Geschichtsakademie, mit wenigen Ausnahmen, immer noch auf ihrer Unterstützung des Geschichtsbildes des Tokioter Tribunals beharrt.
Die einzigen Gelehrten, die behaupten, die Geschichte richtig zu verstehen, sind diejenigen, die nicht mit der Geschichtsakademie verbunden sind.
Zu ihnen gehören der Kritiker und Anglistikwissenschaftler Shoichi Watabe, der westliche Wirtschaftshistoriker Fumio Huang, der Germanistikwissenschaftler Kanji Nishio, die Philosophin Michiko Hasegawa, der Anglistikwissenschaftler Yutaka Nakamura, die Journalistin Yoshiko Sakurai, der ehemalige Offizier der Luftselbstverteidigungsstreitkräfte Tadato Ushio, der Germanistik- und Vergleichsliteraturwissenschaftler Keiichiro Kobori, der Gelehrte für europäische Diplomatiegeschichte und internationale Politik Terumasa Nakanishi, der Mathematiker und Essayist Masahiko Fujiwara und der japanische Geschichtswissenschaftler und Historiker-Essayist Masahiko Fujiwara, um nur einige zu nennen.
Sie alle sind in weitreichende intellektuelle Aktivitäten involviert, die über ihre Titel hinausgehen.
Dasselbe gilt für die Rechtsgemeinschaft.
Der Kern der Tokioter Prozesse war ein illegaler Lynchmord durch die Siegermächte, und selbst die Alliierten waren sich seiner Rechtmäßigkeit nicht sicher.
Kisaburo Yokota, Professor für Völkerrecht an der juristischen Fakultät der Kaiserlichen Universität Tokio, der als eine der weltweit führenden Autoritäten für Völkerrecht gilt, argumentierte jedoch überraschenderweise, dass die Tokioter Prozesse legitim seien.
In seinem Buch „Kriegsverbrechen“ übernahm er kritiklos die historische Sichtweise der Tokioter Prozesse. Er erklärte: „Es besteht kein Zweifel daran, dass in fast allen Nationen der intensive Wunsch besteht, den Angriffskrieg als internationales Verbrechen zu betrachten.“
Viele andere Rechtsgelehrte folgten damals lawinenartig diesem Beispiel, sodass die Macht der WGIP enorm war.
Dieser Artikel wird fortgesetzt.
2024/7/5 in Okayama
2020/8/30
El otro día encontré un periódico mientras buscaba algo.
Este artículo y su autor eran completamente nuevos para mí.
Me sentí aliviado al saber que el artículo era excelente y que el autor era un graduado de la Facultad de Economía de la Universidad de Tokio y un miembro activo de Itochu Corporation.
Después de ingresar a la fuerza laboral, conocí a dos de mis mejores amigos por el resto de mi vida.
Ambos eran empleados de ITOCHU Corporation.
Ambos eran empresarios de gran talento y ocupaban puestos importantes en la empresa.
El nombre de la empresa ha aparecido recientemente en el discurso, junto con las declaraciones pro China de Uichiro Niwa.
Tuve sentimientos de intensa vergüenza.
A través de mi relación con ellos, sentí que la fuerza de una empresa comercial reside en el hecho de que cada empleado es, por así decirlo, un gerente de una pequeña o mediana empresa.
Son fantásticos analizando los balances de sus clientes y captando el estado de la empresa.
O la capacidad de ver un presupuesto de construcción importante, comprobar instantáneamente cada detalle y juzgar si el precio es apropiado, algo que haría estremecer de miedo incluso a los principales contratistas generales de Japón.
La fuerza de Japón reside en la combinación de inteligencia, fuerza física y energía.
El mensaje corporativo de ITOCHU Corporation, "Un comerciante, innumerables misiones", se muestra en la red trasera del estadio Jingu, el campo local del equipo de béisbol Yakult, y cada vez que lo veo, pienso que es exactamente correcto.
¿Cuál es la biografía del autor, Takehiko Aoyagi, al principio de este artículo?
(Profesor de la Universidad Internacional de Japón, Doctor en Filosofía.
Nació en la ciudad de Kiryu, prefectura de Gunma, en 1934. Se graduó en la escuela secundaria superior de Kiryu.
Se graduó en la Facultad de Economía de la Universidad de Tokio en 1958 y se unió a ITOCHU Corporation.
Se desempeñó como Gerente General del Departamento de Alimentos de Sydney, Gerente General del Departamento de Alimentos Agrícolas en la oficina central y Director de ITOCHU System Development Corporation, entre otros cargos.
De 1985 a 1997, se desempeñó como presidente de Nippon Telematic Corporation, una empresa conjunta al 50% entre ITOCHU Corporation y NTT Corporation.
De 1995 a 2006, se desempeñó como vicepresidente y profesor de GLOBECOM, Universidad Internacional de Japón, y de 2006 a 2016, fue profesor visitante en GLOBECOM.
Sus áreas de investigación incluyen economía, administración de empresas, finanzas, sociología de la información, derecho, política internacional y teoría de la seguridad, y es un autoproclamado generalista en ciencias sociales.
Es autor de "Videotex Strategy" (Ciencias de la información), "Cyber Surveillance Society" (Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" ( NTT Publishing), "Roosevelt traicionó al pueblo estadounidense y arrastró a Japón a la guerra", "La historia de Japón retorcida por Estados Unidos para desarmar mentalmente a los japoneses" (Heart Publishing), y muchos otros.
El Sr. Aoyagi se topó con un artículo que ganó el séptimo Premio Anual de Ensayo a la Excelencia sobre "Historia Moderna Verdadera" del Grupo APA.
Es un documento de lectura obligada no sólo para el pueblo japonés sino para todo el mundo.
Innumerables pasajes describen perfectamente la estructura cerebral de Arima y de los empleados de NHK que controlan NHK/Watch9, algo que la otra noche me pareció imperdonable.
¿Por qué el pueblo japonés cayó tan fácilmente presa del GTPI?
En primer lugar, el GTPI estaba tan bien oculto e implementado en secreto que los japoneses ni siquiera sabían de la existencia del programa de lavado de cerebro.
Desde que Estados Unidos introdujo la idea de democracia a gran escala, asumió una posición central en la ideología y la filosofía educativa del Japón de posguerra.
El pueblo japonés nunca había soñado que el Cuartel General, el organismo principal del sistema, estaba negando la "libertad de expresión" y promoviendo el lavado de cerebro.
En segundo lugar, gran parte de lo que el GHQ difundió fue clasificado como secretos de tiempos de guerra.
Como toda la historia militar había sido destruida, el pueblo japonés no tenía forma de verificar la verdad de lo que se decía.
Por lo tanto, el pueblo japonés creía sin lugar a dudas que los militaristas mentían y engañaban al público.
En tercer lugar, casi todos los académicos en quienes los japoneses confían han aceptado acrítica y fácilmente la visión histórica de los Juicios de Tokio y la han promovido activamente mediante la publicación de artículos y libros que han amplificado la confusión.
En particular, todos los historiadores destacados apoyaron el historicismo del juicio de Tokio y publicaron una serie de resultados de investigaciones que arrojaron una luz negativa sobre toda la historia de Japón.
Muchos de los estudiantes a los que estos eruditos enseñaron se convirtieron en profesores y enseñaron a sus hijos la visión masoquista de la historia.
Así, la visión histórica de los Juicios de Tokio quedó impresa en la generación más joven, una tras otra, a través de la educación histórica.
En uno de sus libros, Keiji Nagahara, profesor emérito de la Universidad Hitotsubashi y presidente de la Sociedad Histórica, incluso afirma: "El Tokio TrLos intelectuales enseñaron a la historiografía japonesa la visión correcta de la historia.
La realidad es que, con algunas excepciones, la academia histórica todavía está arraigada en su apoyo a la visión de la historia del Tribunal de Tokio.
Los únicos eruditos que afirman comprender adecuadamente la historia son aquellos que no están asociados con la academia histórica.
Entre ellos se encuentran el crítico y estudioso de inglés Shoichi Watabe, el historiador económico occidental Fumio Huang, el estudioso de la literatura alemana Kanji Nishio, el filósofo Michiko Hasegawa, el estudioso de la literatura inglesa Yutaka Nakamura, el periodista Yoshiko Sakurai, el ex oficial de las Fuerzas Aéreas de Autodefensa Tadato Ushio, la literatura alemana y la comparación. el erudito en literatura Keiichiro Kobori, el erudito en historia diplomática europea y política internacional Terumasa Nakanishi, el matemático y ensayista Masahiko Fujiwara, y el erudito en historia e historiador ensayista japonés Masahiko Fujiwara, por nombrar algunos.
Todos ellos se dedican a una amplia gama de actividades intelectuales que van más allá de sus títulos.
Lo mismo ocurre en la comunidad jurídica.
La sustancia de los Juicios de Tokio fue un linchamiento ilegal por parte de las potencias victoriosas, e incluso los Aliados no estaban seguros de su validez.
Sin embargo, Kisaburo Yokota, profesor de derecho internacional en la Facultad de Derecho de la Universidad Imperial de Tokio, considerado una de las principales autoridades mundiales en derecho internacional, sorprendentemente argumentó que los Juicios de Tokio fueron legítimos.
En su libro "Crímenes de guerra", aceptó acríticamente la visión histórica de los Juicios de Tokio. Afirmó: "No hay duda de que existe un intenso deseo entre casi todas las naciones de considerar la guerra de agresión como un crimen internacional".
Muchos otros juristas siguieron su ejemplo como una avalancha en ese momento, por lo que el poder del GTPI era tremendo.
Este artículo continúa.
2024/7/5 in Okayama
30/08/2020
L'altro giorno ho trovato un foglio mentre cercavo qualcosa.
Questo articolo e il suo autore erano completamente nuovi per me.
Fui sollevato nell'apprendere che l'articolo era eccellente e che l'autore era laureato alla Facoltà di Economia dell'Università di Tokyo e membro attivo della Itochu Corporation.
Dopo essere entrato nel mondo del lavoro, ho incontrato due dei miei migliori amici per il resto della mia vita.
Entrambi erano dipendenti della ITOCHU Corporation.
Erano entrambi uomini d'affari di grande talento e ricoprivano incarichi importanti all'interno dell'azienda.
Il nome dell'azienda è apparso di recente nel discorso, insieme alle dichiarazioni pro-Cina di Uichiro Niwa.
Provavo sentimenti di intenso imbarazzo.
Attraverso la mia collaborazione con loro ho sentito che la forza di un'azienda commerciale sta nel fatto che ogni dipendente è, per così dire, un manager di una piccola o media azienda.
Sono fantastici nell'analizzare i bilanci dei loro clienti e nel cogliere lo stato dell'azienda.
Oppure la capacità di esaminare un preventivo di costruzione significativo, controllare immediatamente ogni dettaglio e giudicare l'adeguatezza del prezzo, qualcosa che farebbe rabbrividire di paura anche i principali appaltatori generali giapponesi.
La forza del Giappone risiede nella combinazione di intelligenza, forza fisica ed energia.
Il messaggio aziendale di ITOCHU Corporation, "Un commerciante, una miriade di missioni", è visualizzato sulla rete posteriore dello stadio Jingu, il campo di casa della squadra di baseball Yakult, e ogni volta che lo vedo, penso che sia esattamente corretto.
Qual è la biografia dell'autore, Takehiko Aoyagi, all'inizio di questo articolo?
(Professore dell'Università Internazionale del Giappone, Dottore in Filosofia.
È nato nella città di Kiryu, nella prefettura di Gunma, nel 1934. Si è diplomato alla Kiryu Senior High School.
Laureato presso l'Università di Tokyo, Facoltà di Economia nel 1958 ed è entrato a far parte della ITOCHU Corporation.
Ha ricoperto, tra gli altri incarichi, il ruolo di Direttore generale del Dipartimento alimentare di Sydney, Direttore generale del Dipartimento alimentare agricolo presso la sede centrale e Direttore della ITOCHU System Development Corporation.
Dal 1985 al 1997 è stato presidente e presidente della Nippon Telematic Corporation, una joint venture 50-50 tra ITOCHU Corporation e NTT Corporation.
Dal 1995 al 2006 è stato Vice Presidente e Professore presso GLOBECOM, Università Internazionale del Giappone, e dal 2006 al 2016 è stato Visiting Professor presso GLOBECOM.
Le sue aree di ricerca includono economia, amministrazione aziendale, finanza, sociologia dell'informazione, diritto, politica internazionale e teoria della sicurezza, ed è un autoproclamato generalista nelle scienze sociali.
È autore di "Videotex Strategy" (Scienza dell'informazione), "Cyber Surveillance Society" (Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" ( NTT Publishing), "Roosevelt tradì il popolo americano e trascinò il Giappone in guerra", "La storia del Giappone distorta dall'America per disarmare mentalmente i giapponesi" (Heart Publishing) e molti altri.
Il signor Aoyagi si è imbattuto in un articolo che ha vinto il settimo premio annuale di eccellenza per il saggio sulla "vera storia moderna" del gruppo APA.
È un documento da leggere non solo per il popolo giapponese ma per le persone di tutto il mondo.
Innumerevoli passaggi descrivono perfettamente la struttura cerebrale di Arima e dei dipendenti NHK che controllano NHK/Watch9, cosa che l'altra sera ho trovato imperdonabile.
Perché il popolo giapponese è caduto preda del WGIP così facilmente?
In primo luogo, il WGIP era così ben nascosto e implementato segretamente che i giapponesi non sapevano nemmeno dell’esistenza del programma di lavaggio del cervello.
Da quando gli Stati Uniti hanno introdotto l’idea di democrazia su larga scala, hanno assunto una posizione centrale nell’ideologia e nella filosofia educativa del Giappone del dopoguerra.
Il popolo giapponese non si sarebbe mai sognato che il GHQ, l'organo principale del sistema, negasse la "libertà di parola" e promuovesse il lavaggio del cervello.
In secondo luogo, gran parte di ciò che il GHQ propagava era classificato come segreti di guerra.
Poiché tutta la storia militare era stata distrutta, il popolo giapponese non aveva modo di verificare la verità di quanto affermato.
Pertanto, il popolo giapponese credeva senza alcun dubbio che i militaristi mentissero e ingannassero il pubblico.
In terzo luogo, quasi tutti gli accademici di cui i giapponesi si fidano hanno accettato acriticamente e prontamente la visione storica dei processi di Tokyo e l’hanno attivamente promossa pubblicando articoli e libri che hanno amplificato la confusione.
In particolare, tutti i principali storici hanno sostenuto lo storicismo del processo di Tokyo e hanno pubblicato una serie di risultati di ricerche che gettano tutta la storia del Giappone in una luce negativa.
Molti degli studenti a cui questi studiosi hanno insegnato sono diventati insegnanti e hanno insegnato ai loro figli la visione masochistica della storia.
Pertanto, la visione storica dei processi di Tokyo è stata impressa una dopo l’altra nelle generazioni più giovani attraverso l’educazione storica.
In uno dei suoi libri, Keiji Nagahara, professore emerito all'Università di Hitotsubashi e presidente della Historical Society, afferma addirittura: "The Tokyo Trials insegnarono alla storiografia giapponese la corretta visione della storia.
La realtà è che, con poche eccezioni, l'accademia storica è ancora radicata nel suo sostegno alla visione della storia del Tribunale di Tokyo.
Gli unici studiosi che affermano di comprendere adeguatamente la storia sono quelli non associati all'accademia storica.
Tra loro ci sono il critico e studioso inglese Shoichi Watabe, lo storico economico occidentale Fumio Huang, lo studioso di letteratura tedesco Kanji Nishio, il filosofo Michiko Hasegawa, lo studioso di letteratura inglese Yutaka Nakamura, il giornalista Yoshiko Sakurai, l'ex ufficiale dell'Air Self-Defense Force Tadato Ushio, il letterato tedesco e comparato lo studioso di letteratura Keiichiro Kobori, lo studioso di storia diplomatica europea e di politica internazionale Terumasa Nakanishi, il matematico e saggista Masahiko Fujiwara e lo studioso di storia e storico saggista giapponese Masahiko Fujiwara, solo per citarne alcuni.
Tutti loro sono impegnati in attività intellettuali di ampio respiro che vanno oltre i loro titoli.
Lo stesso vale nella comunità giuridica.
La sostanza del Processo di Tokyo fu un linciaggio illegale da parte delle potenze vincitrici, e perfino gli Alleati non erano sicuri della sua validità.
Tuttavia, Kisaburo Yokota, professore di diritto internazionale presso la Facoltà di Giurisprudenza dell'Università Imperiale di Tokyo, era considerato una delle principali autorità mondiali in materia di diritto internazionale, e sorprendentemente sostenne che i processi di Tokyo erano legittimi.
Nel suo libro "Crimini di guerra" accettò acriticamente la visione storica dei processi di Tokyo. Ha affermato: "Non c'è dubbio che quasi tutte le nazioni esista un intenso desiderio di considerare la guerra di aggressione come un crimine internazionale".
Molti altri studiosi di diritto seguirono l'esempio come una valanga a quel tempo, quindi il potere del WGIP era enorme.
Questo articolo continua.
2024/7/5 in Okayama
This paper and its author were utterly new to me.
I was relieved to learn that the paper was excellent and that the author was a graduate of the University of Tokyo's Faculty of Economics and an active member of Itochu Corporation.
After I entered the workforce, I met two of my best friends for the rest of my life.
Both were employees of ITOCHU Corporation.
They were both highly talented businessmen and held important positions in the company.
The company's name has appeared in the discourse recently, along with Uichiro Niwa's pro-China statements.
I had feelings of intense embarrassment.
Through my association with them, I felt that the strength of a trading company lies in the fact that every employee is, so to speak, a manager of a small or medium-sized company.
They are fantastic at analyzing their clients' balance sheets and grasping the company's state.
Or the ability to look at a significant construction estimate, instantly check every detail, and judge the appropriateness of the price, something that would make even Japan's leading general contractors shudder with fear.
The strength of Japan lies in the combination of intelligence, physical strength, and energy.
ITOCHU Corporation's corporate message, "One Merchant, Myriad Missions," is displayed on the back net of Jingu Stadium, the Yakult baseball team's home field, and every time I see it, I think it is exactly right.
What is the author's biography, Takehiko Aoyagi, at the beginning of this article?
(Professor of International University of Japan, Doctor of Philosophy.
He was born in Kiryu City, Gunma Prefecture, in 1934. He was graduated from Kiryu Senior High School.
Graduated from the University of Tokyo, Faculty of Economics in 1958 and joined ITOCHU Corporation.
He served as General Manager of the Sydney Foods Department, General Manager of the Agricultural Foods Department at the head office, and Director of ITOCHU System Development Corporation, among other positions.
From 1985 to 1997, he served as president and Chairman of Nippon Telematic Corporation, a 50-50 joint venture between ITOCHU Corporation and NTT Corporation.
From 1995 to 2006, he served as Vice President and Professor at GLOBECOM, International University of Japan, and from 2006 to 2016, he was Visiting Professor at GLOBECOM.
His research areas include economics, business administration, finance, sociology of information, law, international politics, and security theory, and he is a self-proclaimed generalist in the social sciences.
He is the author of "Videotex Strategy" (Information Science), "Cyber Surveillance Society" (Telecommunications Advancement Association), "Personal Information "Over" Protection Will Destroy Japan" (Softbank Shinsho), "Privacy Research in the Information Age" (NTT Publishing), " Roosevelt Betrayed the American People and Dragged Japan into War", "The History of Japan Twisted by America to Mentally Disarm the Japanese" (Heart Publishing), and many others.
Mr. Aoyagi stumbled upon a paper that won the APA Group's 7th Annual "True Modern History" Essay Prize for Excellence.
It is a must-read paper not only for the Japanese people but for people worldwide.
Countless passages perfectly describe the brain structure of Arima and the NHK employees who control NHK/Watch9, which I found unforgivable the other night.
Why did the Japanese people fall prey to WGIP so easily?
First, the WGIP was so well concealed and secretly implemented that the Japanese did not even know of the existence of the brainwashing program.
Since the U.S. introduced the idea of democracy on a large scale, it took a central position in Japan's postwar ideology and educational philosophy.
The Japanese people had never dreamed that GHQ, the principal body of the system, was denying "freedom of speech" and promoting brainwashing.
Second, much of what GHQ propagated was classified as wartime secrets.
Since all military history had been destroyed, the Japanese people had no way of verifying the truth of what was said.
Therefore, the Japanese people believed without any doubt that the militarists lied and deceived the public.
Third, almost all academics whom the Japanese trust have uncritically and readily accepted the historical view of the Tokyo Trials and have actively promoted it by publishing articles and books that have amplified the confusion.
In particular, all leading historians supported the Tokyo Trial Historicism and published a series of research results that cast all of Japan's history in a negative light.
Many of the students these scholars taught became teachers and taught their children the masochistic view of history.
Thus, the historical view of the Tokyo Trials was imprinted on the younger generation one after another through historical education.
In one of his books, Keiji Nagahara, professor emeritus at Hitotsubashi University and Chairman of the Historical Society, even states, "The Tokyo Trials taught Japanese historiography the correct view of history.
The reality is that, with a few exceptions, the historical academy is still entrenched in its support for the Tokyo Tribunal's view of history.
The only scholars claiming to properly understand history are those not associated with the historical academy.
Among them are critic and English scholar Shoichi Watabe, Western economic historian Fumio Huang, German literature scholar Kanji Nishio, philosopher Michiko Hasegawa, English literature scholar Yutaka Nakamura, journalist Yoshiko Sakurai, former Air Self-Defense Force officer Tadato Ushio, German literature and comparative literature scholar Keiichiro Kobori, European diplomatic history and international politics scholar Terumasa Nakanishi, mathematician and essayist Masahiko Fujiwara, and Japanese history scholar and historian essayist Masahiko Fujiwara, to name a few.
All of them are engaged in wide-ranging intellectual activities that extend beyond their titles.
The same is true in the legal community.
The substance of the Tokyo Trials was an illegal lynching by the victorious powers, and even the Allies were unsure of its validity.
However, Kisaburo Yokota, a professor of international law at the Faculty of Law of Tokyo Imperial University, was regarded as one of the world's leading authorities on international law, surprisingly argued that the Tokyo Trials were legitimate.
In his book "War Crimes," he uncritically accepted the historical view of the Tokyo Trials. He stated, "There is no doubt that there is an intense desire among almost all nations to regard the war of aggression as an international crime."
Many other legal scholars followed suit like an avalanche at that time, so the WGIP's power was tremendous.
This article continues.
2024/7/5 in Okayama
文明のターンテーブルThe Turntable of Civilizationの人気記事
- Repost! The story was written along with the echoes. It was a wonderful experience.
- Repost! They've been living unfaithfully with the slave guts for most of history,
- ですが、邪悪な思想に依って世界の覇権を握ろうとして、核兵器を含む軍拡には莫大な金額を投下し続けて来ました。
- Repost ! L'histoire a été écrite en même temps que les échos. Ce fut une expérience merveilleuse.
- いま求められている「公」の復活…自衛隊の教育の成果…各国軍からの高い評価…公に尽くす喜び知る教育
- But for some reason, neither the UN, COP25, nor Greta Thunberg mentioned China.
- Top 10 real-time searches 2024/7/3, 15:56
- 大国には歴史と伝統と民度がいる。支那にはそのどれもない。錯覚でなれるものではないことを早く悟らせたい。
- What is the culprit behind the super depreciation of the yen?
- Repost! It was a popular page yesterday, 2019/7/3.
2024/7/5 in Okayama
2
3
当時、朝日新聞の社長だった広岡知男が、中国政府のいいなりになって、本多勝一に書かせたねつ造話なのです
4
現在、「脱原発利権」なるものが生まれつつある。孫正義・小泉純一郎・細川護煕・菅直人の動きに注意。
5
この小泉が、松沢病院に入院歴があるということについては、小泉家の極秘事項になっている。
6
7
NHK、TBS、テレビ朝日の偏向報道が何故あれほど酷くて執拗なのかを明らかにしている。
8
そして、辻元清美の選挙区である、大阪10区、高槻市は日本赤軍の関係者・支援者の多い土地で知られているそうですよ
9
朝日新聞が最後の清算として取り組まねばならないのが、この「南京大虐殺ねつ造事件」の徹底調査です
10
有名なのは、橋本龍太郎元首相を籠絡した中国人女性通訳のケースだ。
11
Bob Dylan - Love Minus Zero (Audio)
12
私が彼らが来阪したら必ず聴きに行っていた頃、登場した彼が意外な小柄だった事にも驚いたのだが、
13
紀平梨花が月の光をバックに世界最高得点を出した時の演技である。
14
They could not become "Japan."
15
シューマン: 幻想小曲集,Op.12 Pf.フレディ・ケンプ:Kempf,Freddy
16
主人公の田畑政治が朝日新聞に入社したとの語りを聞いた瞬間に第二部は観る事を止め巨人の試合を探していて発見した
17
ラフマニノフ: 前奏曲集(プレリュード),Op.23 10. 変ト長調 Pf.フレディ・ケンプ:Kempf,Freddy
18
17名の委員の中には宮本百合子(宮本顕治の妻、荒畑寒村(社会主義運動家、加藤シズエ(日本社会党衆議院議員、島上善五郎(東京交通労働組合書記長、横ゆう子(日本共産党婦人部員)がいた
19
NHKの飼い主は誰だ?国営放送なのに「反日」報道ばかり。歴史的背景を探ってみれば、答えが自ずとわかる・・・今も続く占領政策
20
The wretched condition of public opinion survey with distortion and corruption
21
植民地とは人頭税、酒税、塩税を課し、識字率を抑え、宗主国への抵抗は徹底鎮圧という形がある。
22
小さな声も一致団結すれば、結構強いことがわかる(笑)。思うに、SNSは現代の「奇兵隊」みたいなものじゃありませんか。 ジャーナリズムのあり方が大きく変化していくことは間違いない。
23
3月、中央日報(日本語版)は12日、「日本財界、差し押さえ資産売却なら韓国支社撤収の雰囲気」との記事で、日本の制裁措置を具体的に以下のように予測
24
南ドイツ新聞は、そういう実態を知って朝日の記事を引用してきたのか…この新聞会社も本当に最低に卑しい新聞会社である
25
27
直接傷を負うのは韓国と取引している企業ですが、そんなものあの国と関わった時点で、自己責任に帰すること。嫌なら撤退を早くやることです
28
29
30
NHKの韓国に関する報道はあきれ返るほどに酷い…似非モラリズムの体を装った実は反日・自虐史観の持ち主達に依って日本国営放送局が
31
Neil Young - From Hank to Hendrix
33
具体的には、旭日旗をネタに五輪に乗り込もうとしている徐敬徳教授の入国禁止措置など。これ一つやると宣言するだけでも、波及効果があります
34
35
現在は、いかにも公明正大な公共放送のようにすまし顔で受信料の徴収に血道をあげているのだから、なおさらだ。
36
日本戦の翌日、ある教授が「昨日、被害に遭った方はいませんか?」と尋ねた。何のことかと思ったら、「日の丸が上がって君が代が流れ、精神的苦痛を受けた方はいませんか?」と
37
そうじゃない。 彼らに嫉妬の醜さを自覚させ、ついでに尾の身の旨さを教えてやる親切心を感じないか。
38
39
次にデモなどの直接行動がネットで呼びかけられて騒ぎを拡大していきます。安保法制や特定秘密保護法のときなども、すべて同じ手法です。
40
its responsibility, and also, I would like to collect punitive damages in the real sense.
41
it is a popular page yesterday.
42
占領軍はNHKを民主化するために、政府および情報局から切り離して独立の機関(といってもGHQの広報機関)とした。そして、放送委員会を設置させて、名目上ではあるが、NHKの「運営」をこの委員会に委ねた
43
このような話は彼だけでなく、他の将校からも聞いている。番組制作はCIE将校に任せて、自分たちは古美術品の斡旋を「業務」としていたわけだ。
44
朝日新聞の心根の卑しさは、もはや哀れむべき領域である。私は、こんな新聞を5年前の8月まで長い間購読していた事に本当にほぞを噛むのみである
45
46
実は最も悪質に民主主義を阻害している有馬と桑子は日本最高級の高給を得ている…この章の事実すら知らなかったというのだろうか?
47
自国の実態も世界の実態も全く知らされず、毎日、虎の穴で鍛錬されたサイボーグ達が表彰台を独占する事ほど、スポーツを冒涜するものはないからである
48
彼らはすべて連動していて、かつシステム化しています。手ぶらでデモに行っても、近くのコンビニに寄って、指定されたネットプリントの予約番号を入力すると、デモ用のチラシが
49
自分たちはおおよそ無であって、その無の器にマスコミが感情や思想や理論を注入してくれることを待ち望んでいるのであろう。これはあきらかに衆愚の姿である
50
徐教授は、海外でも旭日旗を戦犯旗としてゆえない汚名をかぶせ、反日商売で食っている人物です。入国拒否は当たり前です。
2024/7/5 in Okayama
1
2
4000年来、モンゴル人の大元帝国以外は、断続的に海禁をしてきた国…海をずっと忌避してきた国が急に海に出る野望を抱いたものだから、その世界戦略は空想や妄想だらけで迷走するばかり
3
以下はリアルタイムのベスト10である。2020/6/27, pm 1:00
4
また、中国半導体大手の紫光集団は19年11月、高級副総裁に坂本幸雄氏の起用を決めましたが、この人はまさに「売国奴」です。
5
説明書を読んでみたら、防犯カメラのサーバーの所在地がすべて中国だったのです。これには驚きました。それを知って、防犯カメラをすべて取り外しました。
6
誰もマスクを付けていないし、手洗いうがいもしない、土足で建物の中に入る、自己中で個人主義、トイレや公共の場のひどい衛生、CTスキャンやMRIが少ない。政府の対応も遅い
7
リモート・アクセス時代だからこその「中国排除」…国会だから漏れてもたいした話ではないですけれどね。Z00Mは中国製ですか?
8
長所も短所も知り尽くした日本人には、こう問いかける。そんな中国に経済で依存しない構造改革を推進できるのか、と。
9
東シナ海のほうは、南シナ海での支配力を強めるうえでの囮で、騒ぎを起こして、世界の耳目を東シナ海に引きつけておきたいと思っている。中国語で言えば、「声東撃西」(東に声して西を撃つ)
10
その在日韓国朝鮮人社員が昇進して、主要な報道番組のプロデューサーや報道局長など1980年以降、決定的な権力を持ったポストに、つき始めました
11
『わが敵「習近平」』(飛鳥新社)…楊さんはさまざまな情報を分析して、武漢で発生した新型コロナウイルスが生物兵器だと考えている。
12
これを腐した連中の悪辣さは極まっている。彼らは、正に、底知れぬ悪とまことしやかな嘘で出来ている人間達である事を実感した。
13
以下はリアルタイムのベスト10である。2020/6/28, am 11:00
14
コロナ禍が発生した初期段階では、中国は世界各地でマスクなどの医療物資を買い占めて、各国における品不足の原因を作った。
15
Aceasta presupunea că „suntem într-o perioadă de război”.
16
Nu putem decât să mulțumim pentru eforturile oficialilor guvernamentali și ale lucrătorilor din
17
こんな調子なので、先日の麻生氏の「日本はおたくの国より民度が高いんだ」という発言に、むしろ同調する欧州人のほうが多いわけです。
18
it is a popular page yesterday. 2020/6/28, pm 12:50
19
För det första, om den negativa inverkan på ekonomin ska vara ett problem,
20
21
Voimme vain kiittää valtion virkamiesten ja terveydenhuollon työntekijöiden
22
以下はリアルタイムのベスト10である。2020/6/30, pm 3:45
23
レブロンよ、もし米国が君を愛していないのなら、米国は 君が何回生まれ変わっても使いきれない超高給を君に払い続けてはいない。それどころか安月給で、こき使われていたはずである。
24
自国政府やルール違反の人々にうんざりしているのですから、既往症がある人や、重症化リスクが高い中年以上の人々は「よく言ってくれた」と絶賛です。
25
26
ในสถานที่แรกถ้าผลกระทบทางลบต่อเศรษฐกิจจะเป็นปัญหา
27
เราสามารถขอบคุณความพยายามของเจ้าหน้าที่ของรัฐและเจ้าหน้าที่สาธารณสุขในการบรรลุเป้าหมายนี้
28
豪州は、中国の亡命外交官や諜報員の情報によって2004年8月に当時の胡錦濤総書記が開いた秘密会議で「米豪分断と豪州属国化計画」の存在を知った。
29
一部国家には確かに、経済的利益のために中国との交流を深めたい思惑もあろうが、欧州全体は習主席の期待する「一大勢力」として中国と連携することはまずない
30
日本人は常識に耳を傾ける、集団主義的な社会、コミュニティを守ろうという意識が強い。俺、俺、俺という自己中で未成熟な社会じゃない
31
それに対する一般民の反応が「俺は親とセックスしないとならないのか」と怒り心頭。イギリスの民度をよく表しています。
32
มันบ่งบอกว่า 'เราอยู่ในช่วงสงคราม'
33
以下はリアルタイムのベスト10である。2020/6/29, pm 11:40
34
ドローンの航続距離を大幅に伸ばし、武器として、あるいは偵察用として、軍事的に大きな力を発揮するためにトヨタの燃料電池技術が使用されるとしたら米国はどう出るだろうか
35
世界の趨勢も、政府の意図も、自由主義社会の人間が持つべき普遍的価値観も、まるで感じさせない「儲けさえすればいい」という商人の発想による発言である。しかし、世界の動きは怖い。
36
そして、その技術も、外国の先端技術研究者や大学教授を招く中国の「千人計画」に基づき、破格の厚遇で呼び寄せられた人々によって形となっていることを忘れてはならない。
37
温水プールやジムが完備された高層マンションに住み、公安局派遣の美人秘書をあてがわれた彼らは嬉々として中国のために研究成果を挙げている。そして、その窓口となっているのは、日本学術振興会である
38
För världens fred finns det inget annat val än att kollapsa det kommunistiska partiet i Kina
39
40
Japansk kultur ser ud til at opføre sig for hinanden. Britisk kultur handler om mig,
41
以下はリアルタイムのベスト10である。2020/6/30, pm 11:15
42
そもそも、経済への負の影響を問題にするなら、感染症対策を行った医師よりもまず、冒頭で述べた通りウイルスを世界中にばらまいた中国政府と、
43
習近平の中国はもはや、「ヤクザのなかのチンピラ」と化しているのである。図体こそでかいが、心と頭はまさしくチンピラ、実に厄介な存在である。
44
Det antydde att "vi befinner oss i en krigstid."
45
日本が世界最高の技術を持った国である事を、世界に具体的に示す絶好の機会を、絶対に阻止したい国は、世界に二つしかない。
46
47
Vi kan bara tacka ansträngningarna från statliga tjänstemän och hälsoarbetare för att uppnå detta.
48
中国政府は1月23日に武漢を封鎖したが、その後も中国人の外国への渡航を制限せず、むしろ渡航制限を試みようとする諸外国を糾弾した。
49
この脅迫で味をしめた朝鮮総連は各局のテレビ局や新聞社をTBSと同じように因縁をつけて脅し、在日枠を設けさせたのです。NHKも同じです。
50
清潔のコストは高い。だから当時は世界中が不潔だった。清潔は金持ちだけが独占していて、貧乏と不潔は同居していた。
2024/7/5 in Okayama
2024/7/5 in Okayama